ADIL"Keadilan merupakan suatu perilku atau sifat di dalam semua aspek apapun,keadilan juga suatu nilai yang paling penting di dalam ajaran islam.Mene Keadilan dalam Ekonomi Islam Halaman 1 - Kompasiana.com
artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam Vol. 10 No. 2 Juli-Desember 2019, p. 167-181. 167 Konsep Islam Tentang Keadilan Kajian Interdisipliner Hafidz Taqiyuddin Universitas Islam negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Abstrak artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Kata Kunci hak individu; hak bawaan; baik dan buruk. Pendahuluan Adanya maksud kata adil yang tidak hanya memiliki satu arti menjadikan timbulnya perbedaan pendapat mengenai keadilan yang terdapat dalam suatu hukum, yakni pemikiran mengenai keadilan yang terdapat pada hukum waris dalam hukum Islam misalnya. Jika keadilan dikaitkan dengan sifat Tuhan, maka setiap ketentuan hukum yang berasal dari-Nya, yakni berupa wahyu yang dalam tataran hukum dikenal dengan al-nuṣūṣ, harus dilaksanakan. Hal demikian, karena setiap peraturan yang sumbernya dari al-naṣṣ yang sudah tentu itu merupakan hukum yang adil. Kemudian, menurut Said Nursi w. 1960 M., esensi dari keadilan Tuhan bisa terlihat dalam aspek pemberian pahala dan siksaan terhadap suatu perbuatan. Allah melakukan itu karena bukan apa yang nampak terlihat mata, tapi karena maksud dan tujuan yang melatarbelakangi suatu Sebenarnya, hakikat keadilan itu tidak dapat diukur secara otentik, karena keadilan yang hakiki hanya dimiliki oleh zat yang maha adil yakni Allah SWT yang tercermin dalam firman-firmannya, yang selalu menekankan kepada adanya kadilan2. Walaupun demikian, keadilan dapat dicapai dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama keadilan, yakni a tidak adanya perlakuan berat sebelah; b 1 Badiuzzaman Said Nursi, The Words The Reconstruction of Islamic Belief and Thought, diterjemahkan oleh Huseyn Akarsu New Jersey The Light, 2005, 84 2 Misalnya adalah al-Ḥujrāt ayat 9, dan Ṣad ayat 26. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 168 yang dijadikan dasar hukum adalah tujuan mengenai apa yang dilakukan bukan mengenai proses hukumnya; c memandang suatu permasalahan dari berbagai Selain itu, dikemukakan pula oleh John Rawls4, diantara prinsip itu adalah 1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak; 2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling Said Nursi berpendapat, bahwa keadilan dalam Islam tidak cukup hanya terdapat dalam tulisan semata. Akan tetapi, keadilan harus dibarengi dengan pelaksanaannya. Praktek tersebut bisa tertuang dalam keputusan yang dilakukan Peradilan misalnya. Nursi mencontohkan praktek yang demikian itu bisa dilihat pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib yang bekerja sama dengan para hakim pada waktu itu dalam penegakkan hukum yang Pembahasan Adil dalam Alqur’an diungkapkan dengan beberapa kata, yaitu dan .7 Adil dapat diartikan tidak memihak, sama berat, sepatutnya, tidak berat sebelah, dan tidak sewenang-wenang. Misalnya suatu putusan pengadilan yang tidak berat dan tidak memihak kepada salah satu pihak dianggap adil, dan perlakuan pemerintah terhadap rakyat dengan tidak sewenang dapat pula disebut Kata adil dalam bahasa Arab memiliki sinonim dengan kata-kata lain, yakni , , , Berbeda dengan keadilan yang diartikan dalam bahasa Inggris dengan justice yang lawan katanya adalah injustice, kata adl , menurut Majid Khadduri, mempunyai kata yang berbeda arah dengannya, yakni jawr, dan ungkapan lain yang hampir sama maksudnya namun berbeda bentuk kata yaitu ẓulm, mayl, ṭughyān dan Jika dilihat makna yang lebih luas, ada beberapa makna yang dapat diberikan kepada maksud dari keadilan10, yakni Adil dalam arti seimbang 3 Aḥmad Amīn, Al-Akhlāq Kairo Dār al-Kutub, 1931, 174-176. 4John Rawls Bordley adalah salah satu filusuf yang berpengaruh abad kedua puluh. Ia lahir pada tanggal 21 Februari, 1921 di Baltimore, Maryland, putra William Lee Rawls dan Anna Abel Stump Rawls. Rawls menerima gelar sarjana seni dari Princeton University pada tahun 1943. Karir Rawls berkarir di Departemen Filsafat di universitas bergengsi di Inggris dan Amerika Serikat, termasuk Universitas Princeton, Oxford University, Cornell University, dan Massachusetts Institute Teknologi. Ia menjadi profesor filsafat di Harvard University pada tahun 1962. Bandingkan dengan T. Henderick & M. Barnyeat ed, Philosophy as It is, USA Harmondsworth, 1979, 89. 5 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 53. kan dengan Michelle Campbell and Friends, Nonfiction Classics for Students Farmington Hills The Gale Group, 2002, 297. 6 Badiuzzaman Said Nursi, The Rays Collection, diterjemahkan oleh Sukran Vahide, 401. 7 Balitbang Kementerian Agama Alqur’an dan Terjemahnya, tahun 2007. 8 Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008, 12. 9 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice Baltimore Johns Hopkin University Press, 1984, 6. 10 Lihat Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an , cet. Ke-9 Bandung Mizan, 1999, 113-117. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 169 Seimbang bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakannya sehingga terdapat kesesuaian kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain. Untuk merealisasikan keadaan seimbang yang dimaksud, perlu adanya syarat, baik itu ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antar bagian Jadi, substansi dari keseimbangan yang dimaksud bukan menuntut kesamaan sesuatu yang diperoleh, akan tetapi arahnya lebih kepada proporsionalitas. Pengertian yang demikian bisa dilihat dalam kandungan firman Allah SWT, al-Infiṭār 6-7 berikut .. Ungkapan dalam ayat tersebut, menurut Muḥammad al-Rāzi, bahwa ungkapan itu menunjukkan pemberian anugerah Allah kepada manusia berupa potensi keseimbangan dalam bentuk penciptaan yang sempurna, sehingga manusia bisa menerima anugerah lain berupa akal dan Sementara itu, dilihat dari sisi akal sebagai anugerah, dapat dikatakan bahwa akal adalah cahaya yang dapat digunakan manusia untuk membedakan dan menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik buruk. Manusia, dengan mudah, dapat mengetahui bahwa kezaliman itu hal yang buruk dan keadilan adalan hal yang baik dengan menggunakan Adil berarti sama Adil yang dimaksud yakni memperlakukan sama dengan tidak membeda-bedakan di antara setiap individu untuk memperoleh haknya. Pengertian seperti ini, menurut Quraish Shihab, lebih diarahkan kepada proses dan perlakuan hakim terhadap pihak-pihak yang berperkara, bukan persamaan perolehan yang didapatkan setiap individu di depan pengadilan terhadap objek yang diperkarakan. Kemudian juga, dengan melihat kandungan al-Nisā ayat 5814, bahwa sudah merupakan kewajiban hakim untuk tidak membedakan perlakuan terhadap pihak-pihak yang berperkara, misalnya, penyebutan nama, tempat duduk, memikirkan ungkapan yang diucapkan mereka, keceriaan wajah dan kesungguhan Adil dalam arti sifat yang dihubungkan dengan Allah 11 Lihat Muhammad Taufik, “Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan”, Mukaddimah, Vol. 19 No. 01 2013, 43-44. 12 Muḥammad al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghayb, juz 31 Beirut Dār al-Fikr, 1981, 81. 13 Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1 Bagdad Intisharāt al-Mudarrisī, 1999, 12. 14 al-Nisā 58 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. 15 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung Mizan, 1998, 114. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 170 Adil merupakan salah satu sifat Allah adalah adil. Bahkan menurut Mu’tazilah sifat adil adalah sifat afāl Allah yang paling tinggi dibandingkan dengan sifat-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka dijuluki dengan al-firqah al-adlīyah. Menurut mereka, Allah adalah zat yang maha pencipta. Setiap penciptaanya pasti mempunyai hikmah dan tujuan tertentu. Jika Allah menetapkan suatu hukum pada sesuatu, maka pasti di dalamnya terkandung sebuah keadilan. Kemudian, apabila di dalam penetapan tersebut tidak terdapat tujuan yakni keadilan, maka perbuatannya menjadi sia-sia, dan itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah. Pendapat demikian dibantah oleh al-Ash’ariyah yang menyatakan segala yang diciptakan Allah baik berupa benda maupun hukum tidak termuat di dalamnya tujuan al-gharḍ. Karena, apabila itu terjadi, maka Allah menjadi zat yang butuh terhadap sesuatu, yakni realisasi dari tujuannya dalam menciptakan sesuatu, sedangkan hal yang demikian sesuatu yang dituju adalah hal yang tidak dapat dimengerti oleh Akan tetapi adil yang dimaksud bukan merupakan keadilan yang disandarkan kepada pemahaman manusia tentang kaitan adil dengan kebaikan dan Hal ini, karena setiap ketentuan dan kehendak Allah adalah adil, walaupun tekadang adil dalam ketentuan tersebut tidak terjangkau oleh oleh akal dan bahkan dianggap tidak adil dari sudut pandang manusia. Hal ini terjadi karena ide mengenai kebaikan dan keburukan dalam perbuatan adalah sesuatu yang berlaku pada manusia, disebabkan adanya suara hati etika manusia yang dibentuk dari ide relatif, bukan ide Jadi, dapat disimpulkan bahwa keadilan yang disandarkan kepada Allah merupakan keadilan yang terlepas dari penganalogian manusia tentang baik dan buruk yang dibentuk oleh ide manusia. Berbeda dengan dengan keadilan menurut manusia, keadilan Allah merupakan keadilan yang terkandung dalam wahyu-Nya yang diberikan kepada para utusan Rusul Allah, sebagai refleksi sebuah kepastian yang istimewa dari Allah dan karunia terhadap alam yang diciptakan-Nya. Dengan adanya manifestasi kehendak Allah dalam firman-Nya, maka akan tercapai keadilan dan keseimbangan. Keadilan ilahi pada dasarnya rahmat dan kebaikan-Nya, dengan tidak mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan tidak tertahan sejauh makhluk itu dapat memperolehnya. Hal demikian tercermin dalam firman Allah Ali Imran 18 berikut 16 Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 45. Juga lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 151-153, dan lihat Muḥammad Nawāwī al-Jāwī, Tījān al-Durārī Surabaya Dār al-Ilm, 4. 17 Leonid Sykiainen “Said Nursi’s Approach to Justice and Its Role for Political Reforms in the Muslim World” Diakses 04/11/2013. 18 Murtaḍa al-Muṭahharī, al-Adl al-Ilāhī Beirut Shabkah al-Fikr, 55-57. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 171 .Ungkapan , menurut Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, menunjukkan bahwa setiap hukum Allah yang di-taklif-kan kepada umat-Nya mengandung unsur keadilan dalam bentuk kebenaran, tetap sasaran, dan terdapat hikmah di Adil dalam arti perhatian dan pemberian terhadap hak-hak individu Yang dimaksud dengan adil terhadap individu merupakan perlakuan adil terhadap individu dengan memberikan hak sesuai dengan apa yang harus diterimanya. Dengan kata lain, setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat, maka ia berhak mendapatkan hak sebgaimana hak yang juga dirasakan oleh anggota masyarakat lain, dengan tidak merampas hak orang lain. Kebalikan adil yang dikehendaki disini merupakan kebalikan dari sifat al-Z{ulm aniaya. Di antara perbuatan aniaya, yaitu pencurian dan pengambilan secara paksa, karena perbuatan-perbuatan tersebut adalah prilaku yang merugikan orang Diskusi atau pembicaraan mengenai keadilan banyak dilakukan dari berbagai sisi keilmuan. Hal ini karena keadilan merupakan suatu nilai virtue yang plural. Keadilan, misalnya dibicarakan di kalangan filusuf, bahkan dimulai sebelum tahun masehi. Hal tersebut dapat dilihat munculnya teori-teori mengenai keadilan yang dikeluarkan oleh mereka. Misalnya menurut Plato w. 347 SM, yang dimaksud dengan keadilan adalah pemberian kepada setiap orang berdasarkan haknya giving each man his due. Selain itu menurutnya, adil mempunyai keterkaitan yang erat dengan perasaan ada tidaknya rasa senang, karena keadaan senang tersebut diakibatkan tidak terjadinya prilaku aniaya terhadap individu. Menurutnya pula, ketika keadilan ini tercapai, maka dengan keadaan sadar ataupun tidak sadar, sudah menciptakan hubungan baik dengan Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa keadilan menurut Plato tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi individu dalam masyarakat. Juga, keadilan yang ideal akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat sebagai individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas mereka, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota kelompok. 19 Selain setiap afāl Allah itu adil, Dia juga memberikan perintah untuk berbuat adil dalam mengambil atau memberikan suatu keputusan hukum. Lihat Muhammad Ibn Naṣr, “ḍawābiṭ al-Adl bayn al-Zawjāt”, al-Adl, 2007 , 29-30 dan lihat Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, al-ḍaw’ al-Munīr ala al-Tafsīr, jilid 2 Riyāḍ Maktabah Dār al-Salām, 20. 20 Lihat Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2 Kairo Dār al-Kutub, 1931, 173. 21 Plato, The Republic of Plato, diterjemahkan oleh Allan Bloom London, Basic Books, 1968, 6, 34 dan 303. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 172 Kaitannya dengan term keadilan, Aristoteles w. 22 SM menjadikan keadilan dibagi dalam lima bentuk, yaitu pertama, keadilan komutatif, yaitu perlakuan terhadap seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang dilakukannya. Kedua, keadilan distributif, yaitu perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dibuatnya. Ketiga, keadilan kodrat alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita. Keempat, keadilan konvensional, yaitu seseorang yang telah mentaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan. Kelima, keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar. Menurut Aristoteles, gambaran suatu tindakan yang mencerminkan keadilan dapat dilihat pada seseorang, yang meperlakukan dirinya dan orang lain dengan perlakuan yang sama – dengan pertimbangan yang rasional dan tidak mengakibatkan kerugian. Karena ketika didasari dengan hal tersebut, seringkali individu bahkan kelompok berbuat sesuatu ditunggangi oleh kepentingan pribadi yang merugikan orang Menurut John Rawls 1971, keadilan tidak lain merupakan nilai yang paling utama dalam tatanan institiusi sosial, sebagai sebuah kebenaran pemikiran sistem. Karena, sebaik apapun teori sebuah hukum atau norma lainnya, tidak bisa berjalan dengan baik apabila terjadi benturan hak antar individu, dalam hal pemenuhan kebutuhan misalnya. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan atau formulasi yang tepat agar keadilan tersebut dapat terealisasi dengan Rawls menambahkan, ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus diperkuat oleh tiga prinsip keadilan yaitu 1 kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, 2 perbedaan, 3 persamaan yang adil atas Walaupun demikian, menurut Philip Pettit, teori yang diungkapkan oleh Rawls hanya memberikan skema teori yang memadai untuk rasa keadilan tertentu, dan tidak mengakomodir keadaan yang Aḥmad Amīn berpendapat bahwa keadilan bisa dibagi menjadi 2 macam, yakni keadilan personal dan keadilan sosial. Keadilan personal dapat didefinisikan sebagai perlakuan adil kepada setiap individu sesuai dengan hak yang harus diterimanya sebagai bagian dari sebuah kumpulan orang atau masyarakat, dengan memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, seperti yang diterima individu lain. Adapun yang dimaksud dengan keadilan sosial masyarakat yang berkeadilan, menurut Amīn, adalah keadaan sebuah masyarakat yang menggambarkan adanya keteraturan norma-norma, dan peraturan-peraturan yang memberikan setiap 22 Aristotle, Nichomachean ethics, diterjemahkan dan diedit oleh roger Crisp New York, Cambridge University Press, 2000, 89-102. Mohammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Frameworks” Islamic Confrerence iECON, 2007, 2. 23 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 47. 24 John Rawls, A Theory of Justice, 48-51. 25 Philip Pettit, Theory and Decision Dordrecht Reidel Publishing Company,1974, 323. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 173 anggota masyarakat mendapatkan kemudahan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuan Menurut Amīn pula, ada beberapa faktor yang dapat menjadikan keadilan personal tidak dapat tercapai, yakni pertama, rasa cinta yang berlebihan, adanya sifat tersebut mengakibatkan orang tua misalnya, tidak mampu menghukum anaknya yang bersalah, kedua, adanya asas manfaat, umpamanya seorang hakim lebih memperhatikan salah satu pihak yang berperkara karena ada hal tertentu, seperti sogokan dan kongkalikong, ketiga, aspek eksternal, misalnya salah satu pihak yang berperkara terlihat lebih menarik dibanding pihak yang Padahal seharusnya, dalam memperlukan kedua pihak pada suatu peradilan tidak ada dibeda-bedakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Abū al-Qāsim al-Dībājī 2003 mengatakan, para filusuf membagi adil al-Adl, berdasarkan hasil akal28 manusia menjadi dua macam, yaitu al-adl al-ṭabīī dan al-adl al-waḍī. maksud dari al-adl al-ṭabīī, ialah pemikiran bersih dengan keinginan besar yang dimiliki oleh akal manusia untuk memahami dan melihat jelas hak-hak bawaan sejak lahir yang patut didapat oleh manusia. Hak yang dimaksud, dapat dipecah menjadi dua bagian, yakni al-haqq al-dākhilī hak internal dan al-haqq al-khārijī hak eksternal. Kemudian, menurut al-Dībājī hak internal dapat juga dibagi menjadi tiga, yaitu al-ḥaqq al-khāṣ, al-ḥaqq al-ām dan al-ḥaqq al-iqābī. Selanjutnya, al-adl al-waḍī adalah suatu pencapaian baik sebagai hasil jerih payah akal di mana dapat membuat suatu norma atau aturan hukum yang menjadikan terciptanya persamaan dan keadilan di antara individu Dalam konsep keadilan yang terdapat dalam Islam, khususnya keadilan yang kaitannya dengan kehidupan sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai konsep ketuhanan, alam, hidup, dan manusia. Hal ini, karena keadilan merupakan bagian dari agama Islam. Adapun dasar dari keadilan sosial atau masyarakat yang berkeadilan menurut Sāyid Quṭb, adalah 1 al-Taḥarrur al-Wijdānī al-Muṭlaq, yakni keadaan dimana setiap individu sebagai bagian dari suatu kelompok tidak merasa tertekan dalam kehidupannya, terutama urusan dalam kegiatan beragama, 2 al-Musāwah al-Insānīyah al-Kāmilah, yakni suatu keadaan yang menggambarkan bahwa setiap perorangan mempunyai kedudukan yang sama di depan Tuhan Yang Maha Esa, 3 al-Takāful al-Ijtimā’ī al-Wathīq, yakni keadaan dimana setiap individu dijamin kebebasannya untuk melakukan apapun yang di kehendaki, dengan dibatasi oleh hak dan kepentingan 26 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 173. 27 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 175-76. 28 Muḥammad Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1, 14. 29 Lihat Abū al-Qāsim al-Dībājī, “al-Adl Dirāsah Mu’āṣirah”, Dirāsāt fī Uṣūl al-Dīn 2003, 14-16. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 174 anggota masayarakat Selain itu juga, keadilan dalam Islam merupakan inti sari Islam dan ruhnya, dan sesuatu yang dapat memberikan manusia perasaan aman, selamat, dan kehidupan yang Menurut Hashim Kamali, keadilan dalam Islam sering kali dianggap bias bahkan dipertanyakan para peneliti yang berlatar belakang Barat. Mereka mengklaim bahwa Islam tidak mengakomodir dan mengenal hak-hak dasar yang dibutuhkan oleh Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian mereka yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat diskriminasi di dalamnya. Menurut mereka adil atau keadilan pasti berarti sama besar equal. Padahal, keadilan tidak hanya didefinisakan dengan arti “sama” sebagaimana telah diterangkan pada awal bab ini. Dengan adanya pembahasan yang komprehensif mengenai kesemuanya, akan ditemukan karakter jelas mengenai keadilan yang terdapat dalam Islam, misalnya karakter hubungan antara makhluk dengan sang pencipta ḥabl min Allāh33, karakter hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya, individu dengan masyarakat, dan hubungan antara personal dengan pemerintahan. Ini terjadi, karena keadilan sosial yang terdapat dalam Islam bersumber pada Alqur’an dan Hadis, sebagai dasar Konsep keadilan, baik dalam tataran hukum maupun yang lainnya merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif, karena tidak adanya parameter yang baku dan resmi untuk menilai ada tidaknya keadilan. Misalnya mengenai penilaian terhadap keadilan dan kesetaraan jender. Pada masyarakat umum, masih belum paham betul mengenai keadilan dan kesetaraan khususnya dalam kaitannya dengan jender, karena adanya penilaian parsial. Padahal, menurut Nasaruddin Umar, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran sebagai pedoman dalam melihat prinsip-prinsip keadilan atau kesetaraan jender dalam Alqur’an, yaitu 1 laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT, 2 laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi, 3 laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensial meraih prestasi, 4 laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Allah, 5 Adam dan Hawa terlibat aktif dalam drama kosmis ketika di Surga. 35 Hal 30 Lihat al-Adalāh al-Ijtimāīyah fī al-Islām oleh Sāyid Quṭb, Kairo Dār al-Shurūq, 1995, 31-53. 31 Lihat Abullāh Aḥmad al-Yūsuf, al-Adālah al-Ijtimā’īyah fī al-Qur’ān al-Karīm 2008, 17. diunduh 23/10/2013. 32 Lihat Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law An Introduction Oxford, Oneworld, 2008, 199. 33 Hubungan tersebut berupa peng-Esa-an al-tawhīd dan ibadah mahḍah, seperti shalat, puasa dan zakat. Hal tersebut merupakan manifestasi dari inti keimanan dan keislaman yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya. 34 Lihat Sāyid Quṭub, al-Adalah al-Ijtimā’īyah fī al-Islām, 20. 35 Lihat Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender oleh Nasaruddin Umar, “Perspektif Jender dalam Islam” 1999. diakses 13/11/2013. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 175 ini karena keadilan bukan merupakan sesuatu yang terbatas dalam ruang tertentu atau bidang permanen dalam aturan ataupun prinsip. Selain itu, keadilan dapat dipahami dan ditelusuri dengan lebih baik apabila kita memikirkannya sebagai sesuatu aturan dalam praktek-praktek yang terkait dengan hal Walaupun keadilan bukan dianggap sesuatu yang kongkrit, setidaknya menurut menurut Chainur Arrasjid, ada beberapa azas yang dapat dijadikan ukuran eksistensi keadilan, yaitu37 pertama, azas persamaan, keadaan yang menunjukkan setiap orang mendapatkan bagian secara merata, kedua, azas kualifikasi, yakni azas yang merujuk kepada pada kenyataan bahwa suatu beban tugas diberikan kepada personal yang mempunyai kemampuan untuk mengerjakannya, ketiga, azas prestasi objektif, keadaan yang menggambarkan sesuatu diberikan kepada individu yang yang patut untuk menerimanya, misalnya penghargaan karena keahlian atau kemampuannya, keempat, azas kebutuhan, dimana setiap orang memperoleh bagian sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya, dan kelima, azas subjektif, yang didasarkan pada syarat-syarat subjektif, seperti ketekunan, kerajinan dan ketelatenan. Seringkali, menurut Anthon Susanto, keadilan dan ketidakadilan disandingkan dan dipertentangkan dalam sebuah ruang kajian, misalnya di mana ada konsep keadilan maka akan ada konsep ketidakadilan. Dia memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan kasus yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan oleh antitesa dari keadilann di bidang hukum, misalnya ketidakadilan jender dalam masyarakat daerah, dan tebang pilih dalam penetapan suatu putusan Keadilan dalam lingkup keilmuan Islam khususnya hukum Islam, baik hukum yang didasari wahyu berupa Alqur’an dan Hadis, maupun yang didasari oleh hasil ijtihad ulama, dapat diperoleh secara komprehensif dengan menyertakan pendapat ulama dari era awal sampai saat ini. Kajian ini penting dilakukan, karena konsep-konsep umum Alqur’an dan Hadis mengenai keadilan dan penerapannya menurut penjelasan Nabi SAW., perlu dipahami dengan berbagai interpretasi dari berbagai sisi, misalnya teologis, mazhab fiqh dan Keadilan dalam agama Islam, sangat berkaitan erat dengan konsep etika perolehan dan pendistribusian harta benda. Manifestasi pendistribusiannya berupa sifat kedermawanan philanthropy, perbuatan baik amal ṣāliḥ, dan mementingkan orang lain. Hal ini karena dipengaruhi pola pikir mereka yang beragama Islam menganggap bahwa manusia itu mempunyai derajat dan hak yang 36 Lihat Jane Flax, “The Play of Justice Justice as a Transitional Space”, Political Psychology, Vol. 14, No. 2, June 1993, 332. diunduh 31/05/2012. 37 Lihat Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jakarta Sinar Grafika, 2004, 56-61. 38 Lihat “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum Sebuah pembacaan dekonstruktif” oleh Anthon F. Susanto dalam Jurnal Keadilan Sosial, edisi 1, 2010, 23. 39 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 3-4. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 176 sama untuk memperoleh Dengan demikian, mengenai keadilan yang dikaitkan dengan hukum tidak dapat dilepaskan dari penalaran akal terhadap nilai kebaikan, karena keadilan merupakan bagian dari sebuah nilai kebaikan. Dari sini, dapat dilihat bahwa adil dan tidaknya suatu hukum didasari oleh hasil pemikiran akal. Pendapat demikian dilontarkan oleh Mu’tazilah41. Jadi, menurut mereka bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang Berbeda dengan Mu’tazilah, menurut Mātūridiyah43, bahwa segala sesuatu terdiri dari hal yang baik secara zatnya, sesuatu yang buruk secara zatnya, dan sesuatu yang berada di antara baik dan buruk. Maksudnya baik dan buruknya ditentukan oleh hukum Allah shar yang terdapat dalam Jadi, akal hanya membantu manusia memahami kebaikan dan keburukan terhadap hukum yang di-taklīf-kan kepada manusia. Pendapat Mātūridiyah di atas sama dengan pendapat Ashariyah45. Walaupun demikian terdapat perbedaan, yakni menurut mereka bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik dan buruknya ditentukan oleh Allah, sebagai Maha pencipta dan mengetahui. Juga ukuran baik dan buruk menurut Allah tidak dipengaruhi oleh Jadi dapat disimpulkan bahwa segala perintah Allah 40 Lihat Muhammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Framework”, Islamic Conference 2007, 6. 41 Mu’tazilah merupakan salah satu mazhab dalam ilmu kalam yang berdiri di kota Baṣrah pada awal tahun kedua hijriyah. Mazhab ini didirikan oleh Wāṣil ibn Aṭā’ w. 131 H. sekitar tahun 81 H. sampai tahun 110 H. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang lebih dulu terkenal dibanding mazhab pendahulunya, yakni Jaḥmīyah dan Qadarīyah. Kemudian diikuti oleh mazhab Ashariyah sebagai lawannya dan mazhab Māturidiyah sebagai pecahan dari Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang mempunyai metode al-jam bayn al-manqūl wa al-maqūl gabungan dari hasil penalaran akal dan penelusuran wahyu. Lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 16-17. Lihat Ibn al-Murtaḍā, al-Manīyah wa al-Amal fī SharḤ al-Milal wa al-Niḥal Beirut Dār al-ṣādir, 4-10, dan lihat pula Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 103 dan 181. 42 Aḥmad ibn Taymīyah, Daqā’iq al-Tafsīr, diedit oleh Muḥammad al-JaliKeadilanitu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus - 18576276 maya3228 maya3228 24.10.2018 Bahasa lain Sekolah Menengah Pertama terjawab Keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus 1 Lihat jawaban Iklan Melihat tema seminar nasional ini, “Mewujudkan Penegakan Hukum dan Penyelenggaraan Peradilan Tipikor Berperikemanusiaan dan Berperikeadilan”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta, mungkin ada yang bertanya, Apakah itu berarti bahwa penegakan hukum dan penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi selama ini tidak, atau kurang, berperikemanusiaan dan berperikeadilan? Tema ini memang sengaja dipilih untuk didiskusikan secara ilmiah karena meskipun secara teori, penyelenggaraan peradilan Tipikor dianggap sebagai upaya menegakkan hukum, namun faktanya adalah masih banyak keluhan dalam masyarakat tentang ketidakadilan dalam berbagai bentuk yang ditemukan dalam proses penegakan hukum dimaksud. Kasus-kasus yang kita temukan dari putusan-putusan Pengadilan Tipikor, yang berasal dari tuntutan jaksa, itu sering memaknai peran atau proses peradilan sebagai proses yang hanya bertumpu pada kepastian. Padahal sebetulnya yang dituju adalah agar putusan itu harus bernilai keadilan. Bagaimana agar putusan Pengadilan Tipikor itu bisa bernilai keadilan? Setidaknya harus diukur dengan tigal hal. Pertama, diukur dengan al-adil yaitu perilaku. Saya kebetulan juga seorang advokat. Ketika saya berpraktik di pengadilan, maka sering saya alami bahwa penegak keadilan tidak mamaknai al-adil atau perilaku. Kecenderungannya adalah, yang namanya advokat itu diperlakukan tidak sama dengan jaksa. Kadang-kadang kita dibentak. Tapi terhadap jaksa, hakim tersenyum-senyum saja, meskipun itu salah. Sering saya menghadapi hal semacam itu. Kenapa bisa seperti itu? Karena hakim tidak memahami konsep al-adil. Dalam proses peradilan, prinsip al-adil ini sering tidak digunakan. Karena al-adil itu tentang perilaku, maka perilaku pengadil harus juga adil. Bagaimana mungkin kita mengadili orang lain tetapi perilaku kita sendiri tidak adil? Karena al-adil itu tentang perilaku, maka kalau hakim berperilaku baik terhadap jaksa, seharusnya hakim berperilaku baik juga terhadap terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukum; bukan malah sebaliknya. Saya mempunyai pengalaman menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Ada saksi di persidangan yang ketika dikonfrontir dengan alat bukti, ternyata tak cocok. Saksi itu sebetulnya sudah mengirim surat, dan di suratnya itu ada nomor, ada perihal, ada lampiran. Ternyata ketahuan di persidangan bahwa lampiran itu sudah dicoret. Pasti semua sepakat bahwa apabila lampiran surat dicoret, maka hal itu berarti bahwa surat itu tidak mempunyai lampiran. Itu menurut pemahaman hukum dan administrasi. Tapi ternyata saksi katakan dia sudah melampirkan bukti-bukti sekitar 100 lembar tapi lampirannya dicoret, artinya dihilangkan. Lalu, saya meminta kepada saksi untuk menunjukkan surat aslinya. Saya tanya, apa maknanya ketika bapak menulis surat dan lampiran dicoret. Saksi itu tak bisa menjawab. Karena saksi diam saja, saya terus mendesak saksi untuk memberikan keterangan apa makna lampiran dalam surat. Ternyata, justru hakim membentak saya dan katakan, “Saudara tidak perlu memaksa.” Apa sebabnya hakim bersikap demikian? Karena dia tidak mengerti bahwa keadilan yang dimaksud itu adalah al-adil atau perilaku adil. Hal seperti ini sering saya alami ketika berpraktik di pengadilan. Yang kedua adalah al-mizan yaitu alat timbangan atau hukumnya. Kalau hukum yang digunakan itu tidak benar, maka hasilnya pasti salah. Kalau pasal dakwaan yang digunakan itu salah, berarti di situ ada kesalahan yang nyata, sehingga pasti hasilnya salah juga. Ketika mengajar mahasiswa S1, saya selalu menggunakan perumpamaan begini Al-mizan itu adalah alat yang digunakan. Kalau saya datang ke toko emas membeli emas satu gram, tapi toko emas memakai timbangan beras untuk mengukurnya, maka pasti hasilnya keliru. Begitu pun sebaliknya. Kalau saya ke toko beras membeli beras satu kilogram, lalu toko beras itu menggunakan timbangan emas, maka pasti hasilnya jelas tak akan bagus. Itulah yang saya maksudkan bahwa sebenarnya al-adil dan al-mizan itu harus sejalan. Kalau kepastian hukum itu selalu bicara alat, maka alatnya harus benar. Kalau alatnya sudah tidak benar, maka meskipun dipaksakan akan salah. Kalau dipaksakan untuk menghukum orang dengan alat atau aturan yang tidak benar, maka pasti hasilnya tidak benar pula. Kalau sudah tak benar, maka pasti tak adil. Kalau tak adil, maka tak akan bisa sesuai dengan ajaran Islam tentang keadilan. Yang digunakan sekarang adalah teori tentang kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tapi jika tidak ditemukan keadilan di satu tempat, maka harus mencari keadilan di tempat lain. Artinya, bukan semata-mata kepastian hukumnya yang harus dikejar, tapi tetap harus mengutamakan keadilan. Itulah konsep Islam yang harus senantiasa diberikan kepada para penegak hukum, seperti yang diuraikan dalam Surat An Nisa ayat 58 dan 135. Ukuran ketiga yang perlu diperhatikan dalam menegakkan keadilan adalah aspek kemanfaatan. Hukuman yang diberikan harus bisa membawa manfaat, baik bagi orang yang dihukum, maupun bagi masyarakat sebagai pembelajaran. Hukuman yang tidak membawa manfaat, tetapi hanya menyengsarakan orang adalah hukuman yang tak berguna. Sebab tujuan berhukum itu sebetulnya bukan untuk menyengsarakan orang, tetapi menciptakan keteraturan dan kemanfaatan bagi manusia. Tiga standar atau ukuran keadilan menurut ajaran Islam yang diuraikan di atas ternyata belum dipahami dengan baik oleh para pengadil yang begitu bangga dengan predikat “penegak hukum” tetapi belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat dalam proses-proses persidangan, termasuk untuk kasus-kasus korupsi. Sesuai ajaran Islam seperti yang saya sebutkan di atas, tiga ukuran keadilan tersebut yaitu al-adil, al-mizan, dan kemanfaatan seharusnya sudah lama ditegakkan dalam semua kasus yang ditangani oleh pengadilan di negara yang mayoritas penduduknya, termasuk para jaksa dan hakim, beragama Islam. Ketidakpedulian para penegak hukum untuk menerapkan tiga ukuran keadilan dimaksud tentu sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya ketika memberikan pendapat hukum dalam focus group discussion September silam tentang kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman, saya kemukakan bahwa apabila jaksa salah memilih mizan, salah memilih pasal dakwaan, kemudian hakim pun tidak menggali kebenaran tetapi hanya mengikuti alur pikiran jaksa, maka hasilnya menjadi tidak sesuai dengan prinsip al-adil, al-mizan, dan juga prinsip kemanfaatan dari putusan perkara dimaksud. Dalam kasus Irman Gusman, tampaknya jaksa dan hakim juga tidak menoleh ke aspek kemanfaatan dari upaya Irman untuk meringankan beban hidup masyarakat Sumatera Barat yang saat itu mengeluhkan harga gula yang tinggi. Pengadilan hanya melihat dimana ada hal-hal yang bisa dijadikan alasan tekstual-yuridis untuk menghukum orang, tetapi gagal melihat aspek kemanfaatannya. Jaksa dan hakim juga gagal menyadari ukuran perilaku adil dan timbangan atau al-mizan itu, padahal mereka itu pun beragama Islam dan bukan tidak mengerti tentang adanya konsep Islam tentang ukuran-ukuran keadilan tersebut. Ironisnya, putusan pengadilan selalu diawali dengan slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa! Ironi-ironi semacam ini lazim terjadi di berbagai proses peradilan, dimana jaksa dan hakim hanya menggunakan kacamata kuda untuk menghukum orang, tetapi tidak berani menggunakan hati nuraninya untuk menegakkan keadilan sesuai ajaran agama. Penegak hukum begitu bergairah mengejar kepastian hukum, tapi banyak yang tidak menyadari bahwa mereka hanya menjadi penegak undang-undang dan gagal menjadi pencipta keadilan sebagaimana diamanatkan oleh ajaran agama. Ketika para pengadil hanya mendefinisikan tugasnya sebagai penegak undang-undang dan bukan pencipta dan penegak keadilan juga, maka sangat sulit untuk menghadirkan keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Padahal harapan masyarakat yang mayoritas beragama Islam ini tentunya adalah agar Pengadilan—sesuai nama yang disandangnya—dapat menghadirkan keadilan dalam semua kasus yang ditanganinya, bukan malah menjauhkan rasa keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Sebab keadilan yang sesungguhnya tidak datang dari teks-teks hukum buatan manusia yang hanya bisa menghukum orang, bahkan secara kejam, tetapi datang dari ajaran agama yang yang luhur dan mulia nilainya, yang seharusnya ditegakkan di atas hukum-hukum buatan manusia. Kenapa kita tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan ajaran agama tentang keadilan seperti diuraikan di atas? Kenapa kita meminjam nama Tuhan dalam setiap amar putusan Pengadilan, tetapi gagal menerapkan ajaran-Nya dalam penegakan hukum? Padalah di negeri ini tak ada orang yang akan membantah bahwa hukum Tuhan jauh lebih tinggi daripada hukum apa pun yang dibuat oleh manusia. Bukankah slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti menggunakan ukuran Tuhan seperti disebutkan di atas dalam mengadili perkara? Intinya, para jaksa dan hakim sebagai penegak hukum harus pula menjadi penegak keadilan yang menghayati dan menjalankan konsep keadilan sesuai ajaran agama; dan tidak sekadar menjalankan tugas-tugas profesinya, tapi dalam prosesnya selalu mengabaikan ajaran agama. Tapi hanya para pengadil atau penegak hukum yang mendapat hidayah ilahi yang akan memahami tentang tugas mulianya sebagai wakil Tuhan di negeri ini untuk menghadirkan keadilan sesuai ajaran-Nya, dan tidak sekadar menjalankan profesinya sesuai pikiran manusia yang amat terbatas, apalagi bila ditunggangi berbagai kepentingan yang berlawanan dengan ajaran agama. Tulisan ini sudah diterbitkan dalam media online prestasiindonesia Ideologinegara RI adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa.". Sesuai sila pertama Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai yang diambil dari ajaran Islam sehingga mustahil agama menjadi musuh Pancasila. Meskipun makalah ini membahas mengenai Pancasila yang nilai-nilainya terkandung dalam Al-Quran, Hadits dan ajaran agama Islam, tetapi tidakKeadilan merupakan harapan yang dapat dirasakan bagi seluruh umat manusia, karena keadilan merupakan sebuah cita-cita luhur setiap negara untuk menegakkan keadilan. Karenanya Islam menghendaki pemenuhan tegaknya keadilan. Keadilan dalam Islam meliputi berbagai aspek kehidupan yang merangkumi keadilan distributif, retributif dan, sosial, dan politik. Asas-asas menegakkan keadilan dalam Islam yaitu kebebasan jiwa yang mutlak dan persamaan kemanusiaan yang sempurna. Keadilan dalam Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an dan didukung oleh Hadits dari Rasulullah SAW. Karena tidak mungkin manusia dapat mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 115 KEADILAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Fauzi Almubarok azdafatih Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah STIT Islamic Village Tangerang Abstrak Keadilan merupakan harapan yang dapat dirasakan bagi seluruh umat manusia, karena keadilan merupakan sebuah cita-cita luhur setiap negara untuk menegakkan keadilan. Karenanya Islam menghendaki pemenuhan tegaknya keadilan. Keadilan dalam Islam meliputi berbagai aspek kehidupan yang merangkumi keadilan distributif, retributif dan, sosial, dan politik. Asas-asas menegakkan keadilan dalam Islam yaitu kebebasan jiwa yang mutlak dan persamaan kemanusiaan yang sempurna. Keadilan dalam Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur‟an dan didukung oleh Hadits dari Rasulullah SAW. Karena tidak mungkin manusia dapat mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Kata Kunci Keadilan, Keadilan Islam A. Wawasan Tentang Keadilan Konsep keadilan melibatkan apa yang setimpal, setimbang, dan benar-benar sepadan bagi tiap-tiap individu. Seluruh peristiwa terdapat maksud yang lebis besar “yang bekerja di balik skenario” yang berkembang atas landasan spiritual untuk kembali kepada Tuhan. Terdapat keadilan yang menyeluruh bagi semua. Hukum, konstitusi, mahkamah agung, atau sistem keadilan buatan manusia tidak ada yang dapat memberi keadilan semacam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil al-„Adlu yang harus dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial adalah sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara sering mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya negara tersebut di antaranya untuk menegakkan keadilan. Banyak ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan karena Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan agamanya, Saiyad Fareed Ahmad, Lima Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, diterjemahkan dari God, Islam, Ethics, and the Skeptic Mind A Study on Faith, Religios Diversity, Ethics, and The Problem of Evil, Bandung Mizan Pustaka, 2008, h. 151 Lihat dalam al-Qur'an surat Al-Hadid ayat 25, surat al-Nahl ayat 90, surat Yunus ayat 13, surat al-Naml ayat 52, surat al-Israa ayat 16, surat al-Nisaa ayat 58, surat al-Maidah ayat 8, surat al-A‟raf ayat 96. Peer reviewed under reponsibility of STIT ISLAMIC VILLAGE. © 2018 STIT ISLAMIC VILLAGE, All right reserved, This is an open access article under the CC BY SA license ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 116 keselamatan dirinya jiwa, raga, dan kehormatannya, keselamatan akalnya, keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan al-„adl di dalam tatanan kehidupan memiliki makna umum dan mempunyai makna khusus, meliputi keadilan dalam bermuamalah, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan, dan keadilan dalam hak-hak manusia. Terdapat beberapa istilah untuk mengindikasikan kata „adl. Beberapa sinonimnya adalah qisth, istiqamah, Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang Upaya Menyelamatkan Umat, Jakarta Gema Insani Press, 2006, h. 249 Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta Gema Insani Press, 2001, Cet. I, h. 268 Dalam Tafsir Jalalain ayat ini ditafsirkan sebagai berikut Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat artinya kewajiban-kewajiban yang dipercayakan dari seseorang kepada yang berhak menerimanya ayat ini turun ketika Ali hendak mengambil kunci Ka‟bah dari Usman bin Thalhah Al-Hajabi penjaganya secara paksa yakni ketika Nabi SAW. datang ke Mekah pada tahun pembebasan. Usman ketika itu tidak mau memberikannya lalu katanya, “Seandainya saya tahu bahwa ia Rasulullah tentulah saya tidak akan menghalanginya.” Maka Rasulullah saw. pun menyuruh mengembalikan kunci itu padanya seraya bersabda, “Terimalah ini untuk selama-lamanya tiada putus-putusnya!” Usman merasa heran atas hal itu lalu dibacakannya ayat tersebut sehingga Usman pun masuk Islamlah. Ketika akan meninggal kunci itu diserahkan kepada saudaranya Syaibah lalu tinggal pada anaknya. Ayat ini walaupun datang dengan sebab khusus tetapi umumnya berlaku disebabkan persamaan di antaranya dan apabila kamu mengadili di antara manusia maka Allah menitahkanmu agar menetapkan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah amat baik sekali pada ni`immaa diidgamkan mim kepada ma, yakni nakirah maushufah artinya ni`ma syaian atau sesuatu yang amat baik nasihat yang diberikan-Nya kepadamu yakni menyampaikan amanat dan menjatuhkan putusan secara adil. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar akan semua perkataan lagi Maha Melihat segala perbuatan. Lihat Ahmad Lutfi Fathullah, al-Qur'an al-Hadi, dalam Tafsir Jalalain tentang Adil dalam surat al-Nisaa [4] ayat 58. al-Qisth artinya bagian yang wajar dan patut. Firman Allah dalam surat al-Nisa 4 135 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kam penegak al-qisth keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…” Lihat Moh. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an Tafsir Maudhu‟i … Op. Cit., h. 149. Dalam Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan sebagai berikut . Artinya Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi penegak atau benar-benar tegak dengan keadilan menjadi saksi terhadap kebenaran karena Allah walaupun kesaksian itu terhadap dirimu sendiri maka menjadi saksilah dengan mengakui kebenaran dan janganlah kamu menyembunyikannya atau terhadap kedua ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia maksudnya orang yang disaksikan itu kaya atau miskin, maka Allah lebih utama bagi keduanya daripada kamu dan lebih tahu kemaslahatan mereka. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu dalam kesaksianmu itu dengan jalan pilih kasih, misalnya dengan mengutamakan orang yang kaya untuk mengambil muka atau si miskin karena merasa kasihan kepadanya agar tidak berlaku adil atau ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 117 wasath, nasib, hissa, mizan. „Adl berlawanan dengan jawar ketidakadilan. Terdapat beberapa sinonim jawar seperti zulm kelaliman, tughyan tirani, dan mayl kecendrungan, inhiraf penyimpangan. Secara bahasa, kata „adl diderivasi dari kata „adala, yang berarti pertama, bertindak lurus, mengubah atau modifikasi; kedua, melarikan diri, berpaling dari satu keburukan ke perbuatan yang baik; ketiga, seimbang atau sama, setara atau cocok, atau menyetarakan; keempat, menyeimbangkan, menimbang, menjadi seimbang. Istilah „adl sebagai kesetaraan atau keseimbangan digunakan dalam arti menyeimbangkan sesuatu dengan yang lain. Makna kata „adl bisa berarti secara kualitatif maupun kuantitatif. Makna yang pertama merujuk pada prinsip abstrak kesetaraan yang berarti kesetaraan di hadapan hukum atau kepemilikian hak yang sama. menyeleweng dari kebenaran. Dan jika kamu mengubah atau memutarbalikkan kesaksian, menurut satu qiraat dengan membuang huruf wawu yang pertama sebagai takhfif atau berpaling artinya enggan untuk memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan hingga akan diberi-Nya balasannya. Lihat Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahalli dan Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthy, Tafsir Jalalain, Dar Ibn Katsir, h. 100. Tentang ayat ini Imam al-Syafi‟i berkata, “Keterangan yang kau terima dari pada ulama berkenaan dengan ayat ini berbicara tentang yang wajib bersaksi. Seorang saksi wajib menegakkan keadilan meskipun memberatkan kedua orang tua, anak, atau karib kerabatnya, baik jauh maupun dekat, serta tidak menyembunyikan bukti dan tidak menjatuhkan orang lain.” Lihat Ahmad Ibn Musthafa Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Surah an-Nisa – Surah Ibrahim, Jakarta Penerbit Almahira, 2007, h. 250. Berkaitan dengan ayat ini, sebab-sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, yaitu Artinya Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa‟id, telah bercerita kepada kami Laits dari Ibnu Syihab dari „Urwah dari „Aisyah RA bahwa orang-orang Quraisy sedang menghadapi persoalan yang menggelaisahkan, yaitu tentang seorang wanita suku Al-Makhzumiy yang mencuri lalu mereka berkata “Siapa yang mau merundingkan masalah ini kepada Rasulullah Saw?” Sebagian mereka berkata “Tidak ada yang berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah SAW. Usamah pun menyampaikan masalah tersebut lalu Rasulullah SAW bersabda “Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan Allah?”. Kemudian berliau berdiri menyampaikan khutbah lalu bersabda “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat pejabat, penguasa, elit masyarakat mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah masyarakat rendahan, rakyat biasa mereka mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, seandainy Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya. Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Beirut Dar Ibn Katsir, h. Dan Allah telah meninggikan langit, dan Dia meletakkan neraca keadilan. QS al-Rahman [55] 7. Mengenai ayat ini, Rasululah SAW menjelaskan dengan bersabda, “Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi.” Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Ibid., ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 118 Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an surah al-Hujurat 49 ayat 10. Makna yang kedua menekankan prinsip keadilan distributif, mungkin lebih tepat digunakan istilah nasib dan qisth berbagi, qisthas dan mizan timbangan, dan taqwim memperkuat. Keseimbangan, kesederhaaan, dan kesahajaan mungkin terkandung dalam kata ta‟dil, qisth, dan washat. Kata ta‟dil berarti menyesuaikan, mengungkapkan makna keseimbangan, sedangkan kata yang qisth dan washat secara linguistika kebahasaan berarti tengah atau jalan tengah antara dua ekstrem, dan dapat juga digunakan untuk pengertian moderat atau jalan tengah. Kata adil juga diartikan tidak berat sebelah atau tidak memihak, berpihak kepada kebenaran, dan sepatutnya atau tidak sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dan para mufassir adalah melaksanakan hukum Tuhan, manusia menghukum sesuai dengan syariat agama sebagaimana diwahyukan Allah kepada nabi-nabi-Nya dan rasul-Al-Qur‟an surah al-Hujurat 49 ayat 10 Artinya “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Kata Wasth dalam al-Qur'an surat al-Baqarah 2 ayat 143 yang berbunyi yang artinya “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat Islam “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu…” Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW sebagai berikut Artinya Telah berkata kepada kami Yusuf bin Rasyid, telah menceritakan kepada kami Jarir dan Abu Usamah dan lafazh ini milik Jarir dari Al-A‟masy dari Abu Sholih, Abu Usamah berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Abu Said al-Khudri berkata Rasulullah SAW pernah bersabda “Pada hari kiamat, Nuh akan dipanggil Allah dan ia akan menjawab “Labbaik dan Sa‟daik, wahai Tuhanku!‟ lalu Allah bertanya “Apakah telah kau sampaikan pesan Kami?” Nuh menjawab “Ya”. Kemudian Allah akan bertanya kepada bangsa umat Nuh “Apakah ia telah menyampaikan pesan Kami kepadamu sekalian?” Mereka akan berkata “Tidak ada yang memberi peringatan kepada kami”. Maka Allah bertanya “Siapa yang menjadi saksimu? Nuh menjawab “Muhammad SAW dan para pengikutnya”. Maka mereka umat Muslim akan bersaksi bahwa Nuh telah menyampaikan pesan Allah. Kemudian Rasul Muhammad SAW akan menjadi saksi untukmu sekalian dan itulah maksud dari firman Allah “Demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang adil supaya kamu menjadi saksi atas manusia. Dan Rasul menjadi saksi atas kamu” Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Op. Cit., h. 985. Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama, h. 289 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta Pusat Bahasa, 2008, h. 12. ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 119 rasul-Nya. Karena itu, mengerjakan keadilan berarti melaksanakan keadilan yang diperintahkan oleh Allah dalam Islam meliputi berbagai aspek kehidupan. Apalagi dalam bidang dan sistem hukumnya. Dengan demikian, konsep keadilan yang merupakan prinsip kedua setelah tauhid meliputi keadilan dalam berbagai hubungan, yaitu hubungan antara individu dengan dirinya sendiri, hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya, hubungan antara individu dengan hakim dan yang berperkara serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang keadilan Islam juga terpateri dalam cakupannya, yang meliputi seluruh sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam berinteraksi dengan Khaliq-nya dan dirinya sendiri, serta makhluk lain. Kegagalan berlaku adil kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain. Ketidakadilan dalam berinteraksi dengan Sang Khaliq, misalnya, justru menjadi sumber segala bencana manusia dilengkapi tiga kebutuhan dasar yang tidak terpisahkan, yaitu kebutuhan material, spiritual, dan intelektual. Ketiga kebutuhan tersebut mutlak terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi kebutuhan fisik dengan menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang kuat namun liar, seperti kuda liar yang akan menerjang ke kiri-kanan tanpa aturan. Sebaliknya, memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat material, juga melahirkan sosok yang saleh namun lemah. Kekuataan intelektual semata juga melahirkan kelicikan yang hanya membahayakan diri dan manusia di sekitarnya. Keadilan adalah memperlakukan orang dengan cara yang, Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Op. Cit., h. 268 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya Lathifah Press, 2009, h. 72 M. Syamsi Ali, Dai Muda di New York City, Jakarta Gema Insani Press, 2007, h. 272 Ibid., h. 274 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 120 seandainya engkau adalah rakyat dan orang lain adalah sultan, engkau akan berpikir begitulah seharusnya engkau Islam bersifat komprehensif yang merangkumi keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Asas keadilan dalam Islam merupakan pola kehidupan yang memperlihatkan kasih sayang, tolong menolong dan rasa tanggungjawab, bukannya berasaskan sistem sosial yang saling berkonflik antara satu kelas dengan kelas yang lain. Manusia senantiasa mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri akibat dipengaruhi oleh hawa nafsu sehingga tidak berlaku adil kepada orang lain. Oleh itu, usaha untuk mewujudkan keadilan sosial dalam Islam bukan hanya dengan menumpukkan perhatian terhadap undang-undang dan peraturan saja, tetapi harus melalui proses pendisiplinan nafsu diri. Perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur'an. Ayat-ayat al-Qur'an menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan. Hadits-hadits Nabijuga banyak yang menerangkan pentingnya menjalankan keadilan dalam Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, diterjemahkan dari The History of Islamic Political Thought From The Prophet to the Present, Jakarta Serambi Ilmu Semesta, 2006, Cet. I, h. 208 Ahmad Shukri Mohd. Nain dan Rosman MD Yusoff, Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan, Malaysia, Univesiti Teknologi Malaysia, 2003, h. 116 Al-Qur'an surat al-Nisa ayat 58. Dan surat al-Syuura ayat 15 yang berbunyi “Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu” Imam Muslim, Nasa‟i, dan Ahmad meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Umar ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda Artinya “Orang-orang yang berbuat adil pada hari kiamat akan berdiri di mimbar-mimbar dari cahaya di sisi al-Rahman, dan kedua tangan-Nya adalah kanan, yaitu mereka yang berlaku adil dalam memberi putusan hukum, dalam keluarga, dan atas orang yang dipimpin”. Lihat Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim,Beirut Dar Ihya al-Turots al-Arabiy, Bab Karaahah al-Imarah bi ghairi dlarurah, h. 1283 Thabrani meriwayatkan dalam kitab al-Ausath dengan sanad dari Anas ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda Artinya “Jika kalian menentukan hukum maka berlaku adillah, dan jika kalian membunuh, maka berlakulah baik dalam hal tersebut, karena Allah Maha Baik dan menyukai kebaikan”. Lihat Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, al-Mu‟jam al-Awsath li al-Thabrani, Kairo Dar al-Haramain, h. 1750 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 121 pemerintahan. Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian berlaku adil mesti ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat Muslim, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku menegakkan keadilan dalam Islam 1. Kebebasan jiwa yang mutlak. Islam menjamin kebebasan jiwa dengan kebebasan penuh, yang tidak hanya pada segi maknawi atau segi ekonominya semata melainkan ditujukan pada dua segi itu secara keseluruhan. Islam membebaskan jiwa dari bentuk perbudakan, berupa kultus individu dan ketakutan terhadap kehidupan, rezeki dan kedudukan. Orang yang dihormati adalah orang yang bertakwa, orang-orang yang “beriman dan beramal saleh” 2. Persamaan kemanusiaan yang sempurna. Dalam Islam tidak ada kemuliaan bagi orang yang berasal dari kaum bangsawan berdarah biru dibanding dengan orang biasa. Islam datang untuk menyatakan kesatuan jenis manusia, baik asal maupun tempat berpulangnya, hak dan kewajibannya di hadapan undang-undang dan di hadapan dasarnya, semua bidang kehidupan harus terjangkau oleh keadilan, mulai dari keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga terdekat, mulai dari keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga terdekat, keadilan dalam bidang hukum dan peradilan, keadilan dalam bidang ekonomi, bahkan keadilan dalam bersikap terhadap musuh. Hukum-hukum yang diberlakukan terhadap masyarakat haruslah merupakan penerjemahan dari rasa dan nilai-nilai keadilan Shukri Mohd. Nain dan Rosman MD Yusoff, Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan, Op. Cit., h. 116 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Op. Cit., h. 73 Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta Gema Insani Press, 2005, Cet. I, h. 34 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta Gema Insani Press, 1998, h. 214. Lihat juga surat Al-Nisa‟ayat 58 yang berbunyi Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 122 Keadilan merupakan sebuah prinsip yang teramat penting dan memiliki kedudukan tinggi dalam „adil‟ digunakan dalam empat hal, yaitu keseimbangan, persamaan dan nondiskriminasi, pemberian hak kepada pihak yang berhak, dan pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan. Keadilan ilahi berarti bahwa setiap maujud mengambil wujud dan kesempurnaan wujudnya sesuai dengan yang layak dan yang mungkin untuknya. Keadilan diklasifikasikan ke dalam tiga macam, yaitu keadilan dalam bentuk perundang-undangan al-„adalah al-qanuniyyah, keadilan sosial al-„adalah al-ijtima‟iyyah, dan keadilan antarbangsa al-„adalah al-dauliyyah.Keadilan dalam Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian, karena telah ditetapkan segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil. Apa pun sifatnya, keadilan dalam Islam dirumuskan dengan berpegang teguh pada hukum ilahi atau kehendak Allah SWT yang dirumuskan oleh para ulama untuk dijadikan hukum dalam hidup bersama sebagai warga negara. Keadilan merupakan cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat ini adalah penjelasan tentang keadilan distributif, keadilan retributif, dan keadilan social a. Keadilan Distributif Pradana, Fikih Jalan Tengah, …, Op. Cit., h. 49 Murtadha Muthahhari, Keadilan Tuhan Asas Pandangan Dunia Islam, Jakarta Mizan Pustaka, 2009, h. 65 Abu Yasid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, Yogyakarta LKiS, 2004, h. 25-27 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Implementasinya, Jakarta Gema Insani Press, 1999, h. 46 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2009, h. 42 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2009, h. 47 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 123 Keadilan distributif berarti memberikan barang-barang kepada setiap orang sesuai dengan tuntutan yang adil, dan tuntutannya yang adil itu ditentukan oleh status sosialnya yang sebagian tergantung kepada status yang diterimanya dari nasib sejarah dalam alam dan masyarakat dan sebagian lagi diperolehnya dari usaha-usaha sendiri dalam menggiatkan status dan dua macam prinsip untuk keadilan distributif, yaitu prinsip formal dan prinsip material. Prinsip formal dikemukakan oleh Aristoteles yang dirumuskan dengan kalimat equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequally. Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal menurutnya adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam, karena manusia dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu distributif sudah terdapat pada zaman klasik, dan pada zaman modern ini menjadi semakin urgen. Hal ini menyebabkan keadilan ini banyak kesulitannya adalah karena menyangkut masalah berbagi. Persoalannya adalah, bagaimana membagi hal-hal yang enak dan hal-hal yang tidak enak benefits and burdens secara fair, sehingga tidak ada yang mendapat terlalu banyak dan tidak ada yang mendapat distributif dimaksudkan untuk mencegah terjadinya proses konsentrasi Keadilan distributif merupakan keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Op. Cit., h 48. Distribusi berarti pembagian barang, jasa, dan kesejahteraan secara merata. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum, seperti jabatan, pajak, dan lain sebagainya. Hal-hal ini harus dibagi menurut kesamaan geometris. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta Kanisius, 2011, Cet. XVIII, h. 43 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Op. Cit., h. 24 Artinya kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara tidak sama. Prinsip ini menolak diskriminasi. Kees Bertens, Loc. Cit., 94. Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum ..., Op. Cit., h. 48 Antonius Atoshoki Gea, Relasi Dengan Sesama Character Building II, Jakarta Elek Media Komputindi, 2002, h. 324 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 124 kekayaandan menciptakan sirkulasi kekayaan untuk menciptakan tujuan utama ekonomi yang sehat secara baik di masyarakat agar tidak ada orang memonopolinya. Kemiskinan dan kelaparan bukanlah semata-mata diakibatkan oleh kemalasan yang bersifat individual, akan tetapi juga diakibatkan oleh ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang melahirkan kesenjangan sehingga ajaran Islam sangat melarang kekayaan hanya terpusat dan berputar di kalangan kelompok orang material keadilan distributif melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip material menunjuk kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Kalau prinsip formal hanya ada satu, prinsip material ada beberapa. Keadilan distributif terwujud, kalau diberikan kepada 1 Kepada setiap orang bagian yang sama. Membagi dengan adil adalah dengan membagi rata kepada semua orang yang berkepentingan diberi bagian yang sama. Sebagai contoh, dalam lingkungan keluarga, kue atau makanan lainnya dibagi dengan adil jika semua anggota keluarga mendapat bagian yang sama besarnya. 2 Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya. Prinsip ini menekankan bahwa keadilan sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, ibu rumah tangga belum berlaku adil jika membagi nasi kepada kepada semua anggota keluarga dengan porsi yang sama. Karena kebutuhan mereka tidak sama. Dalam hal ini keadilan terwujud, bila semua orang bisa makan sampai kenyang dan dengan demikian kebutuhan terpenuhi. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Hasyr 59 ayat 7 yang berbunyi “....supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ...” Kerajaan Saudi Arabia, al-Qur'an dan Terjemahnya, Saudi Arabia Mujamma‟ al-Malik Fahd li Thiba‟at al-Mush-haf, 1423 H, h. 916. Dan juga firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Dzariyaat 51 ayat 19 yang berbunyi “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” Ibid., h. 859 Azyurmardi Azra, Berderma Untuk Semua, Op. Cit., h. 42 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010, h. 172 Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang, Op. Cit., h. 265 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 125 3 Kepada setiap orang sesuai dengan haknya. Hak merupakan hal yang penting bagi keadilan pada umumnya. Sebagai contoh, seorang pekerja yang diperlakukan dengan adil jika hak-haknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam janji kerja yang dilaksanakan. 4 Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya. 5 Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat. 6 Kepada setiap orang sesuai dengan sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar pemilihan prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-benar menyelesaikan masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan yang hendak dicapai perlu diformulasikan secara tepat sehingga lebih mengena pada Keadilan Retributif Keadilan retributif merupakan suatu kondisi apabila seseorang mengurangi status dan tuntutan keadilannya karena tidak memenuhi kewajiban atau karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib sosial dan alam, di mana statusnya berakar. Hukuman merupakan tujuan tersendiri yang ditentukan oleh keadilan retributif ataukah implikasi negatif dari keadilan distributif yang ditentukannya keadilan retributif tidak menjadi urusan privat, melainkan terletak di tangan otoritas, yakni sistem yuridis, yang merupakan wakil dari retributif dikatakan efektif bergantung kepada masyarakat apakah mereka menganggapnya sebagai hukum yang merupakan ganjaran yang Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Op. Cit., h. 95- 96 Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologi, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, h. 9 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Op. Cit., h. 24. Keadilan retributif bisa diartikan memberi ganjaran atau hukuman yang sepadan. Lihat Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan Sukarno, Jakarta Gunung Mulia, 2006, h. 192 Shindunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007, h. 111 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 126 setimpal. Jika terjadi sebaliknya, adalah munculnya argumen main hakim sendiri, yaitu ancaman yang akan terjadi apabila keadilan retributif tidak diterapkan oleh negara, yaitu bahwa publik/masyarakat akan mengambil alih hukum ke dalam tangannya keadilan retributif merupakan pembayaran kembali atas suatu tindakan pelanggaran hukum. Tujuan pemberian hukuman untuk memuaskan tuntutan keadilan, untuk mengembalikan keadilan yang telah dirusak, dan dalam arti luas untuk memenuhi tuntutan moral. Asas manfaat dari keadilan retributif adalah demi membela hak. Jadi pemberian hukuman adalah perbuatan yang Keadilan Sosial Keadilan sosial pada hakikatnya merupakan persoalan yuridis, karena terwujudnya keadilan sosial itu sangat bergantung kepada produk legislasi dan kebijakan pemerintah yang sensitif dan berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat merupakan instrumen utama dalam mewujudkan keadilan sosial. Konsep keadilan sosial menyangkut hanya pada sebagian saja particular, sedangkan konsep keadilan itu yang menyangkut hal yang menyeluruh. Karena, keadilan itu menyangkut banyak hal. Pertama, adalah pemenuhan hak-hak seseorang, yaitu hak-hak individu. Jadi keadilan itu intinya adalah dipenuhinya hak-hak individu. Kedua, adalah keadilan itu menyangkut prosedur. Jadi, kalau prosedur itu diikuti, maka hasil apapun yang terjadi maka ia dianggap sebagai adil, sedangkan menyalahi prosedur maka dianggap sebagai ketidakadilan. Ketiga, menyangkut reward and punishment, artinya orang yang baik harus diberi penghargaan dan orang yang jahat dijatuhi hukuman. Keempat, menyangkut sikap, yaitu sikap sosial dan sikap tidak sosial. Kelima, menyangkut pemberdayaan kaum yang Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2009, h. 127-128. E. Sumaryono, Etika dan Hukum, Op. Cit., h. 86 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Op. Cit., h. 112 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2012, h. 124 Frans Hendra Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Op. Cit., h. 9 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 127 lemah, tertindas, dan tertinggal. Keadilan sosial itu mesti diwujudkan dalam hal itu. Keenam, pembagian pendapatan atau kesejahteraan secara merata. Keadilan sosial hanya menyangkut pada pemberdayaan yang lemah tertindas dan tertinggal dan pembagian kesejahteraan pendapatan secara keadilan Islam yang tidak pandang bulu. Sebuah cermin keadilan yang tegak karena dibarengi kekukuhan keimanan, masalah harus sesuai dengan hukum, menghormati aparat hukum, dan juga setiap penegakan hukum memiliki konsekuensi keimanan yang satu dari asas kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan seperti berbuat baik terhadap mereka yang bersalah akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Keadilan harus ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Al-Qur'an menggandengkan kata timbangan alat ukur yang adil dengan kata besi yang digunakan sebagai senjata sebagai isyarat bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. Di satu masyarakat, keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik daripada di masyarakat lain. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan keadilan yang pelaksanaannya bergantung pada struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, seperti struktur-struktur yang ada dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan terlaksananya keadilan. Masalah keadilan sosial adalah soal bagaimana mengubah struktur-struktur kekuasaan yang seakan-akan sudah memastikan terjadinya ketidakadilan. Azyurmardi Azra, Berderma Untuk Semua, Op. Cit., h. xxxiv Yusuf Burhanudin, Saat Tuhan Menyapa Hatimu, Bandung Mizania, 2007, Cet. I, Ibid Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Jakarta Mizan Pustaka, 2007, 347 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Op. Cit., h. 94 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 128 Artinya, yang memastikan bahwa pada saat yang sama dan di mana akan ada kelompok-kelompok miskin dalam masyarakat, adalah struktur-struktur kekusaan yang ada di masyarakat sendiri dan diciptakan oleh mereka yang memangku sosial berkaitan dengan persoalan struktur. Keadilan dalam fenomena sosial dapat disebutkan sebagai keadilan sosial atau juga keadilan makro. Keadilan sosial merupakan keadilan yang dalam realisasinya tidak bergantung pada kehendak pribadi atau pun pada kebaikan individu, sekalipun ia bersikap adil. Implementasi keadilan sosial tergantung pada sejumlah mana terciptanya sturktur sosial yang adil dalam masyarakat. Tanpa itu, keadilan sosial hanyalah ide yang hampa yang tidak membumi. Karenanya, memperjuangkan hadirnya tatanan keadilan sosial berarti melakukan upaya untuk memperbaiki struktur sosial dalam yang timpang dan tidak sosial merupakan keadilan yang sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai operasional, selain dari norma dan nilai yang terkandung dalam Undang-Undang, dimana masyarakat siap untuk menerimanya karena kebiasaan, inersia, atau alasan lain. Berbeda dengan konsep keadilan yang idealis-ilahi, alam atau rasional, keadilan sosial sering digunakan untuk menyertakan keadilan distributif pada dasarnya berada dalam karakter, bahwa hal itu adalah produk dari pengalaman dan kebiasaan manusia lebih dari dari alasan Wawasan Keadilan Dalam Pespektif Islam M. Nasruddin Anshoriy Ch., Dekonstruksi Kekuasaan Konsolidasi Semangat Kebangsaan, h. 109 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, Revitalisasi Filantropi Islam Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syahid, 2005, Inersia dalam bidang politik artinya status quo. Status quo dalam ranah politik adalah penolakan terhadap perubahan. Ditolak karena perubahan dianggap akan memakan waktu, korban, tenaga, pikiran dan pengulangan yang belum tentu sama baiknya dengan keadaan sekarang. Status quo juga dijadikan tameng buat para politisi untuk tidak mau kehilangan keamanan finansial, kekuasaan dan penghormatan yang sudah sangat menyamankan diri dan partai. /2013/01/ diunduh pada 23/1/2013 N. Hanif, Islamic Concept of Crime and Justice, Op. Cit., h. 1 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 129 Al-Qur'an melembagakan zakat untuk kesejahteraan masyarakat miskin. Nabi, ketika ia datang ke Madinah, melembagakan sistem persaudaraan dimana penduduk lokal bersama semua yang mereka miliki berbagi dengan para pendatang dengan memberikan rumah, kekayaan dan sebagainya. Islam memiliki penekanan yang luar biasa pada keadilan sosial dan Islam tentang kehidupan, alam semesta dan manusia yang tercipta secara harmonis. Allah telah menciptakan alam semesta, Dia Maha Tahu tentang keadaan manusia secara sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, Allah memberikan kerangka Islam dimana kehidupan dapat berkembang dengan damai dan harmonis dengan keadilan dan Islam, keadilan ilahi diabadikan dalam wahyu ilahi dan kebijaksanaan Nabi yang disampaikan kepada umatnya. Wahyu, ditransmisikan dalam firman Allah, yang ditemukan di dalam al-Qur'an, dan kebijaksanaan ilahi itu diucapkan dengan kata-kata Nabi dan diumumkan sebagai sunnah. Ini dua sumber tekstual yang tersedia sebagai bahan baku untuk hukum Islam dan Taimiyah mengemukakan tentang keadilan sebagai berikut Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak kezaliman itu sangatlah buruk, sedangkan dampak keadilan itu adalah baik. Oleh karena itu, dituturkan, “Allah menolong negara yang adil walaupun negara itu kafir dan tidak akan menolong negara zalim, walaupun negara itu Mukmin.”Keadilan yang dimaksud merupakan keadilan yang bersifat syar‟i, yakni istiqamah. Adil adalah semua hal yang ditunjukkan oleh Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah, baik dalam hukum muamalah yang berkaitan dengan sanksi Nimat Hafez Barazangi and Friends, Islamic Identity and the Struggle for Justice, Florida University Press of Florida, 1996, h. 16 Sayed Khatab, The Political Thought of Sayyid Qutb The Teory of Jahiliyyah, New York Routledge, 2006, h. 106 N. Hanif, Islamic Concept of Crime and Justice, New Delhi Sarup & Son, 1999, Cet. I, h. Pendahuluan Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa, Juz VI, h. 322 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 130 ataupun hukum-hukum lain. Secara umum apa yang dilarang oleh al-Qur'an dan al-Sunnah adalah kembali pada realisasi adil dan larangan untuk berlaku zalim, misalnya makan harta yang bathil. Semua kekuasaan dalam Islam dimaksudkan untuk amar ma‟ruf nahi munkar, baik yang berkenaan dengan kekuasaan besar seperti penggantian kekuasaan, maupun yang lebih rendah seperti kepolisian, peradilan, kehartabendaan dan keuangan, wilayah hisbah, dan lain-lain. Di antara pemegang kekuasan-kekuasaan tersebut ada yang berkedudukan sebagai saksi kepercayaan yang dituntut untuk bersikap jujur, seperti saksi di depan hakim, dan seperti petugas kantor yang bertugas menulis pemasukan dan pengeluaran, sekretaris yang bertugas lebih luas lagi, dan seperti pengawas yang bertugas memberikan laporan tentang berbagai hal. Di samping itu ada pula yang kedudukannya sebagai orang kepercayaan yang ditaati, seperti kepala pemerintahan, hakim, dan muhtasib penguasa wilayah hisbah. Mereka dituntut berlaku adil dan benar dalam semua yang mereka katakana dan kerjakan untuk memperbaiki semua keadaan. Keadilan dan kebenaran atau kejujuran ini harus selalu seiring sejalan dan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Allah akan menjunjung negara yang adil meskipun kafir dan tidak menjunjung negara yang tidak adil sekalipun Muslim dan bahwa dunia akan dapat terus bertahan dengan keadilan sekalipun kafir dan tidak akan bertahan dengan ketidakadilan sekalipun Islam. Penegakan keadilan ada yang cukup dengan petunjuk dari al-Qur'an dan neraca keadilan mizan, dan sebaliknya dengan kekuasaan besi. Lihat Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar‟iyyah, Beirut Dar al-Ma‟arif li al-Thibaah wa al-Nasyr, h. 15 dan 156 Seperti dinyatakan dalam firman Allah al-An‟am 115. Artinya “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu Al-Quran sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.” Lihat Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah dan Harakah, Jakarta Gema Insani Press, 1996, h. 256 Ibnu Taimiyah, al-Hisbah, 1967, h. 94. Lihat juga Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta Gema Insani Press, 2001, h. 146 Artinya “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, supaya mereka mempergunakan besi itu dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 131 Keadilan sebagai hasil pokok tauhid atau keimanan kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang baik adalah komponen dari keadilan dan segala sesuatu yang buruk adalah komponen dari kezaliman dan penindasan. Karena itu, berbuat adil kepada apa pun dan siapa pun merupakan keharusan bagi siapa saja dan kezaliman tidak boleh ditimpakan kepada apa pun dan siapa pun. Sebagian dari ajaran al-Qur'an adalah menegakkan keadilan dengan menggunakan kekuasaan. Oleh karena itu, penegasan ajaran agama bisa dilakukan dengan mushaf dan kekuasaann. Tidak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi bahwa Allah menyuruh berbuat adil atau Dia adalah Pelaku al-Qurthubi memaknai keadilan bahwa setiap apa saja yang diwajibkan baik berupa akidah Islam maupun hukum Islam Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya untuk menerapkan al-Qur'an serta menegakkan keadilan, memerintahkan bertobat dan menjalankan syariat sebelum datang secara tiba-tiba hari perhitungan kiamat. Sedangkan al-Mawardi melihat sistem pajak harus menerapkan keadilan baik kepada pembayar pajak maupun kepada bait al-mal. Menuntut lebih dari adalah berlaku tidak adil terhadap hak rakyat, sementara meminta lebih rendah juga tidak fair terhadap hak baitul mal. Keadilan komprehensip menanamkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, ketaatan kepada hukum, pembangunan negara, perluasan kekayaan, pertumbuhan keturunan, dan kemanan kedaulatan, dan tidak ada unsur yang lebih cepat menghancurkan dunia dan nurani manusia selain kezaliman.agamaNya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”al-Hadid 25 Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Loc. Cit., h. 57 Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syariyyah fi Ishah al-Ra‟yi wa al-Ra‟iyyah, Mesir Dar al-Kitab al-Arabi, 1979, h. 26. Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi …, Op. Cit., h. 51 Lihat al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur'an, …., Juz X, hukum, 165 Al-Qurthubi menafsirkan ayat 17 surat al-Syuura yang berbunyi Artinya “Allah yang menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan neraca keadilan. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat”. Lihat al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur'an, juz 17, h. 15 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Shulthaniyyah, 1960 h. 209, 142-156, 215. Lihat juga Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Op. Cit., h. 148 Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Op. Cit., h. 57 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 132 Mu‟tazilah mengusung keadilan, akal, kebebasan, dan kebijaksanaan atau hikmah. Mu‟tazilah dikenal dengan nama al-„Adliyyah. Wacana hikmah itu tidak hanya merujuk pada prinsip keadilan Mu‟tazilah, tetapi juga merujuk pada prinsip kebaikan dan keburukan rasional, kebebasan manusia, dan adanya tujuan-tujuan tertentu dalam semua perbuatan percaya bahwa ada tindakan-tindakan yang pada dasarnya adil dan ada tindakan-tindakan yang pada hakikatnya tidak adil. Sebagai contoh, memberikan pahala untuk orang yang taat dan menjatuhkan hukuman bagi pendosa merupakan suatu keadilan; dan Allah Maha Adil, Dia memberikan pahala untuk orang yang taat dan menjatuhkan hukuman bagi pendosa, dan mustahil Allah akan berbuat sebaliknya. Begitu pula memaksa makhluk untuk berbuat dosa, atau menciptakan makhluk tanpa memberinya daya kehendak bebas, kemudian menciptakan perbuatan dosa dengan tangan makhluk, lalu menghukum makhluk karena dosa-dosa itu, maka hal ini merupakan ketidakadilan, sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh Allah, suatu yang tak dapat dibenarkan dan tidak alasan seperti itu kaum Mu‟tazilah menekankan keadilan, mereka menafikan tauhid af‟ali. Mereka mengatakan bahwa tauhid af‟ali berarti bahwa Allah, bukan makhluk manusia, yang menciptakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Karena manusia akan memperoleh pahala dan hukuman di akhirat kelak, maka kalau Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan manusia dan lalu Allah menghukum manusia karena perbuatan dosanya, padahal sebenarnya bukan manusia yang melakukan perbuatan dosa itu, namun Tuhan sendiri yang melakukannya, maka hal itu merupakan ketidakadilan zhulm dan bertentangan dengan keadilan Allah. Karena itu, Mu‟tazilah menganggap tauhid af‟ali tidak sesuai dengan akidah Allah mengharuskan penciptaan manusia dengan diberi kuasa dan kehendak selama ia terbebani kewajiban agama. Sehingga manusia mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya dan bertanggungjawab penuh atas semua Murtadha Muthahhari, Keadilah Ilahi…, Op. Cit., h. 23 Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Jakarta Pustaka Zahra, 2002, h. 41-42 Ibid., h. 42 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 133 perbuatannya, serta Allah tidak turut campur dalam segala tindakan cenderung memandang perbuatan Tuhan dari sudut kepentingan dan kebaikan manusia, mereka mengatakan, bahwa masalah keadilan erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik. Bahwa Ia tidak dapat berbuat buruk dan bahwa Ia tidak dapa mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. selanjutnya, keadilan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Keadilan atau al-„Adil dalam teologi Mu‟tazilah mengandung dua makna. Pertama, keadilan berarti perbuatan, maka setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh pelakunya agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Dengan demikian, setiap perbuatan Allah dalam menciptakan alam ini semuanya adil dalam arti perbuatan yang baik untuk dimanfaatkan. Kedua, keadilan berarti pelaku perbuatan, berarti Allah tidak berbuat buruk atau keadilan ini dilihat dari sudut pandang manusia dan mempunyai hubungan dengan hak dan kewajiban Tuhan. Bila al-„Adl dihubungkan dengan hak berarti Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya bagi manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak bersifat zhalim dalam memberikan hukuman, tidak meletakkan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, dan memberikan upah kepada orang yang patuh pada-Na, serta memberi hukuman kepada orang yang menentang n Ahlusunnah, sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan diartikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yakni mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimilikinya serta mempergunakannya Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, diterjemahkan dari al-Imam al-Syafi‟i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid, Jakarta Hikmah, 2008, Cet. I, h. 114 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, Jakarta Erlangga, 2007, h. 150 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya Lathifah Press, 2009, h. 75 I. Nurol Aen, Relevansi Konsep al-Mushawwibat Dengan Dasar Teologi Mu‟tazilah Studi atas Pemikiran al-Qadhiy „Abd al-Jabbar, Bandung Gunung Djati Press, 1998, h. 54 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 134 sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Keadilan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang lain. Keadilan. Tuhan khusus dimaksudkan bagi kebijaksanaan Tuhan menyiksa orang yang melanggar menyatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia dan manusia sendiri menjadi majbur menghadapi persoalan yang rumit tentang dalam Islam tentang keadilan dari aspek sosio-politik yang menyatakan bahwa keadilan seorang penguasa atau pejabat pemerintahan, dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan hak keuangan manusia, atau hak-hak yang menjadi konsekuensi pekerjaannya akan membuat rakyatnya merasa aman dan tenteram, meningkatkan etos kerja mereka, hingga meningkatkan dan mempercepat laju pembangunan, memperbanyak harta benda dan dan pekerjaan akan memperkuat negara dan mempertahankan kesinambungan pemerintahan, sebaliknya tindakan yang aniaya terhadap harta manusia atau penghinaan terhadap hak kepemilikan akan mebuat rakyat malas bekerja dan selanjutnya timbullah malaise ekonomi, karena mereka terkena krisis kepercayaan. Kemudian terjadilah krisis ekonomi yang akan menghancurkan pembangunan dan melemahkan merupakan Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, Jakarta Erlangga, 2007, h. 151 Ibnu Rusy, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta Erlangga, 2006, Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Op. Cit., h. 269. Malaise ekonomi dapat diartikan kelesuan ekonomi. Periode kelesuan ekonomi dan pengangguran secara besar-besaran pada tahun 1929 hingga masa sebelum perang dunia II. Lihat Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2010, h. 233 Ibid., h. 269. Al-Hurmuzan telah berkata kepada Umar ibn al-Khaththab ketika melihat Umar tidur telentang di kebun, “Kamu telah berlaku adil, merasa tenang, maka bisa tidur. Tidak ada yang dapat cepat menghancurkan negara dan paling cepat merusak nurani rakyat kecuali kelaliman. Karena tidak ada yang bisa mengatasinya dan memberhentikan tujannya, semuanya adalah kerusakan yang semakin lama semakin bertimbun menjadi besar.” Sebagian hakim bijak mengatakan, “Keadilan adalah timbangan Allah yang telah diletakkan bagi makhluk-Nya dan untuk mengukur kebenaran perbuatannya.” ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 135 landasan pembangunan peradaban dan prinsip awal agama. Keadilan adalah tujuan manusia dalam seluruh skop kepemimpinan dan pemerintahan, dan mereka yang memegang suatu kepemimpinan dan bagi setiap seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap tegaknya stabilitas kehidupan rakyat. Ancaman terhadap stabilitas yang paling utama dalam suatu negara justru disebabkan munculnya perasaan rakyat yang diperlukan tidak adil. Lebih-lebih bila rasa tidak adil itu sudah makin mengendap dalam batin rakyat, maka dikhawatirkan sewaktu-waktu bisa berkobar menjadi prahara nasional yang ditandai dengan maraknya unjuk rasa, munculnya kekerasan, kerusuhan, dan perbuatan makar. Karena itu menjaga stabilitas yang sesungguhnya adalah dengan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya. Ini karena yang didambakan oleh rakyat dari generasi ke generasi adalah terwujudnya keadilan yang memberikan perasaan tenteram, aman dan selamat. Dengan terwujudnya rasa adil akan membuat rakyat merasa tenang, damai, dan sejahtera meski hidup mereka tidak berlimpah harta. Kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan tidak dapat ditawar-tawar, karena merupakan perintah Allah dan menjadi sendi pokok tegaknya ketertiban masyarakat. Kepemimpinan sebagai perjanjian ilahi yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan h. 272 Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas, Tanggung Jawab Muslim, h. 243. Al-Nasa‟i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Imam itu adalah perisai yang dipertahankan dibela ia di bekalangnya, dan berlindung dengannya, maka jika ia memerintah dengan takwa dan adil, maka itu adalah pahala baginya, dan jika ia memerintah bukan dengannya, maka ia mendapatkan dosanya.” Lihat Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim,Op. Cit., h. 1296 Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad dari Abi Sa‟id ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda “ “ Jihad yang paling besar adalah berkata adil di depan pemimpin yang curang” Lihat Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Jami‟ al-Tirmidzi, Beirut Dar Ihya al-Turots al-Arabi, h. 808 Nasiruddin, Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam, Jakarta Penerbit Republika, Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Baqarah 2 124. “Sesungguhnya Aku akan menjadikan hai Ibrahim pemimpin untuk seluruh manusia. Dia Ibrahim berkata, Saya bermohon agar termasuk juga keturunan-keturunanku.” Allah berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim” Moh. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an Tafsir Maudhu‟i, Op. Cit., h. 150 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 136 Keadilan dalam Islam digantung kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian, karena telah ditetapkan bahwa segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti keadilan dalam hukum sipil, sepenuhnya digantungkan kepada penalaran manusia. Karena itu, dimasukkan ke dalam bidang filsafat hukum. Dan kerena itu pula pengertian keadilan selalu dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, tergantung kepada perkembangan aliran filsafat hukum yang diatur masyarakat bermakna kesamaan equality, untuk memperoleh kebebasan dan hukum menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan distributif dan keadilan komutatif terkandung dalam keadilan hukum. Keadilan menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena itu undang-undang itu menyatakan kepentingan umum. Di sinilah butuh keadilan seorang hakim meneliti berkas-berkas yang masuk. Peganglah prinsip takwa dengan pakaian dan lidah yang takwa, sebab hakim Muslim selalu dibantu oleh dua orang malaikat menegakkan keadilan adalah kemestian yang merupakan hukum objektif, tidak bergantung kepada kemauan pribadi manusia siapa pun juga, dan immutable. Ia disebut dalam al-Qur'an sebagai bagian dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimbangan al-Mizan yang menjadi hukum jagad raya atau universe law. Upaya penegakan keadilan dituntut sikap konsisten dan keteguhan pribadi. Penegakan prinsip keadilan menyakaman semua pihak dalam timbangan yang sama, keadilan tidak mengenal toleransi relasi kekerabatan dan hubungan darah Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit., h. 46 Ibid., h. 46 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, Op. Cit., h. 192 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta Kanisius, 2011, Cet. XVIII, h. 43 Rasulullah SAW. bersabda “Tiada seorang hakim dari kalangan hakim kaum Muslimin kecuali selalu dibarengi dengan dua malaikat yang selalu membimbingnya ke arah masalah yang benar selama ia sendiri tidak menginginkan perkara selain yang benar itu. Bilamana ia sengaja menghendaki perkara selain yang benar, maka kedua malaikat itu akan pergi darinya dan menyerahkan dia ke hawa nafsunya sendiri.” HR. Imam Thabrani melalui Imran Nasiruddin, Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam, Jakarta Penerbit Republika, h. 6 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 137 ataupun kelompok atau golongan. Keadilan adalah bagian dari bukti ketakwaan tertinggi kepada Tuhan. Allah menyuruh kepada umat Islam untuk menegakkan keadilan khususnya keadilan sosial dalam bentuk pemerataan kesejahteraan dan kepedulian akan penderitaan kaum fakir jelas Islam menaruh perhatian terhadap orang-orang lemah mustadh‟afiin dan sebaliknya, kehancuran akan ditimpakan kepada kaum muthrafiin, mereka yang kaya dan hidup pada prinsipnya harta itu tidak boleh terpusat pada kelompok aghniya atau golongan kaya saja. Jika terjadi pemusatan kekayaan, maka akan timbul ketimpangan sosial, akan terjadi pemiskinan dan proses pemiskinan. Islam memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahilan terhadap syariat Islam saja, tetapi juga pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Keadilan merupakan kemampuan menghormati semua orang tanpa memandang posisi mereka dalam hidup atau relasi, memberikan setiap orang pelayanan yang itu tidak selalu dapat diperoleh dengan mudah, namun harus terus diupayakan agar dapat mungkin suatu negara dapat membangun tanpa keadilan. Penindasan akan mengakhiri pembangunan dan keberakhiran pembangunan akan dicerminkan dalam kelumpuhan dan kehancuran negara. Penurunan dalam kemakmuran merupakan akibat langsung dan tidak terhindarkan dari kezaliman dan pelanggaran. Penindasan tidak hanya mengambil kekayaan dan hak milik orang lain tanpa sebab atau tanpa kompensasi. Penindasan memiliki konotasi yang lebih luas. Siapa pun yan merampas hak milik orang lain, memaksanya bekerja berlawanan dengan kemauannya, mendakwa mereka secara tidak benar, atau menimpakan beban pada mereka tanpa ada justifikasi dari syariat, ia adalah Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nucholish Madjid, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2011, h. 198 Surat al-Isra 17 16, Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nucholish Madjid, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2011, h. 200 Andang L. Binawan dan A. Prasentyantoko, Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 230 William J. Byron, The Power of Principles, Yogyakarta Kanisius, 2010, h. 122 Maria S. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implmentasi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2001, h. 176 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 138 seorang tidak dapat dicapai, kecuali dengan keadilan, dan keadilan merupakan tolak ukur yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia. Keadilan sebagai suatu isi pokok bagi semua aspek kehidupan manusia dalam kerangka ajaran sebagai suatu kewajiban bagi suatu masyarakat Muslim untuk menegakkannya baik pada tingkat individu maupun masyarakat dengan tujuan menghapuskan semua bayangan ketidakadilan dari masyarakat, menciptakan suatu keseimbangan dalam semua lini kehidupan dan membebaskannya dari ektremitas dan ekses-ekses, sehingga memungkinkan semua sektor masyarakat mendapatkan hak dan tanggung sebagai hal yang penting bagi kaum Muslim, bukan saja untuk menyambut seruan Islam kepada keadilan sosial, melainkan juga untuk memahami sepenuhnya implikasinya yang bermacam-macam. Di tengah peningkatan wakaf uang di kalangan masyarakat, hendaknya dana yang dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial. Konsep keadilan sosial dimaknai sebagai proses yang mengantarkan masyarakat mencapai distribusi kekuasaan yang lebih setara dalam bidang politik, ekonomi dan Penutup Konsep keadilan dalam Islam disimpulkan sebagai berikut, yakni pertama, keadilan berbasis tauhid yakni keikhlasan terhadap segala kenikmatan yang dilimpahkan oleh Allah SWT yang tertuang dalam aqidah dan syariah. Kedua, keadilan berbasis undang-undang, yakni kesetaraan dalam mengakses kesejahteraan baik dari ekonomi, kesehatan, dan pendidikan dalam pranata-pranata sosial yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Op. Cit., h. 58 M. Suyanto, 11 Rahasia Memulai Bisnis Tanpa Uang, 128 Sayyid Quthb, Al-„Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, 1949. Lihat juga Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Op. Cit., h. 59 Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Op. Cit., h. 59 Ibid. Azyumardi Azra, Dari Harvard Sampai Makkah, Op. Cit., h. 18 Hilman Latief, Melayani Umat, Op. Cit., h. 37 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 139 DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2009 Abu Yasid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, Yogyakarta LKiS, 2004 Ahmad Ibn Musthafa Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Surah an-Nisa – Surah Ibrahim, Jakarta Penerbit Almahira, 2007 Ahmad Shukri Mohd. Nain dan Rosman MD Yusoff, Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan, Malaysia, Univesiti Teknologi Malaysia, 2003 Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah dan Harakah, Jakarta Gema Insani Press, 1996 Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, diterjemahkan dari The History of Islamic Political Thought From The Prophet to the Present, Jakarta Serambi Ilmu Semesta, 2006, Cet. I Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2009 Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta Gema Insani Press, 1995 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Shulthaniyyah, 1960 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010 Antonius Atoshoki Gea, Relasi Dengan Sesama Character Building II, Jakarta Elek Media Komputindi, 2002 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2010 Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, diterjemahkan dari al-Imam al-Syafi‟i fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid, Jakarta Hikmah, 2008, Cet. I Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas, Tanggung Jawab Muslim, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 140 Andang L. Binawan dan A. Prasentyantoko, Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2004 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan Sukarno, Jakarta Gunung Mulia, 2006 Azyurmardi Azra, Berderma Untuk Semua Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta Mizan, Azyumardi Azra, Dari Harvard Sampai Makkah, Jakarta Penerbit Republika, 2005, Cet. I Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Implementasinya, Jakarta Gema Insani Press, 1999 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, Revitalisasi Filantropi Islam Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syahid, 2005. Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang Upaya Menyelamatkan Umat, Jakarta Gema Insani Press, 2006 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta Gema Insani Press, 1998 Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang Upaya Menyelamatkan Umat, Jakarta Gema Insani Press, 2006 E. Sumaryono, Etika dan Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta Kanisius, 2006, Cet. V E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2012. Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologi, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002 Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama, Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2009 Hanif, N., Islamic Concept of Crime and Justice, New Delhi Sarup & Son, 1999 Hilman Latief, Melayani Umat Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2010 ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 141 I. Nurol Aen, Relevansi Konsep al-Mushawwibat Dengan Dasar Teologi Mu‟tazilah Studi atas Pemikiran al-Qadhiy „Abd al-Jabbar, Bandung Gunung Djati Press, 1998. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syariyyah fi Ishah al-Ra‟yi wa al-Ra‟iyyah, Mesir Dar al-Kitab al-Arabi, 1979 Ibnu Taimiyah, al-Hisbah, 1967 Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa, Juz VI Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar‟iyyah, Beirut Dar al-Ma‟arif li al-Thibaah wa al-Nasyr, Ibnu Rusyd, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta Erlangga, 2006. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahalli dan Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthy, Tafsir Jalalain, Dar Ibn Katsir, Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya Lathifah Press, 2009 Bertens, Kees, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta Kanisius, 2000 Kerajaan Saudi Arabia, al-Qur'an dan Terjemahnya, Saudi Arabia Mujamma‟ al-Malik Fahd li Thiba‟at al-Mush-haf, 1423 H Maria S. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implmentasi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2001 M. Syamsi Ali, Dai Muda di New York City, Jakarta Gema Insani Press, 2007 Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta Gema Insani Press, 2001 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Beirut Dar Ibn Katsir, h. Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Jami‟ al-Tirmidzi, Beirut Dar Ihya al-Turots al-Arabi, Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim,Beirut Dar Ihya al-Turots al-Arabiy, Bab Karaahah al-Imarah bi ghairi dlarurah Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim,Beirut Dar Ihya al-Turots al-Arabiy, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 142 Murtadha Muthahhari, Keadilan Tuhan Asas Pandangan Dunia Islam, Jakarta Mizan Pustaka, 2009 Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Jakarta Pustaka Zahra, 2002. Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Jakarta Mizan Pustaka, 2007 M. Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta LKiS, 2008 Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nucholish Madjid, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2011 Moh. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta Mizan, 1996 Nasiruddin, Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam, Jakarta Penerbit Republika, Nimat Hafez Barazangi and Friends, Islamic Identity and the Struggle for Justice, Florida University Press of Florida, 1996. N. Hanif, Islamic Concept of Crime and Justice, New Delhi Sarup & Son, 1999, Cet. I Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta Gema Insani Press, 2005, Cet. I Pradana, Fikih Jalan Tengah, Sayed Khatab, The Political Thought of Sayyid Qutb The Teory of Jahiliyyah, New York Routledge, 2006. Sayyid Quthb, Al-„Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, 1949. Saiyad Fareed Ahmad, Lima Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, diterjemahkan dari God, Islam, Ethics, and the Skeptic Mind A Study on Faith, Religios Diversity, Ethics, and The Problem of Evil, Bandung Mizan Pustaka, 2008 Shindunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007 Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, al-Mu‟jam al-Awsath li al-Thabrani, Kairo Dar al-Haramain, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018 P-ISSN 1979-2824 Homepage Fauzi Almubarok Keadilan Dalam Perspektif Islam 143 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta Pusat Bahasa, 2008 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta Kanisius, 2011, Cet. XVIII Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2009 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, Jakarta Erlangga, 2007 Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta Gema Insani Press, 2001. William J. Byron, The Power of Principles, Yogyakarta Kanisius, 2010 Yusuf Burhanudin, Saat Tuhan Menyapa Hatimu, Bandung Mizania, 2007. ... It means to behave in a balanced way. Balance includes balancing parties and obligations and harmony with fellow beings Rangkuti, 2017. In essence, justice treats someone according to their rights over the obligations carried out Fatihin, 2017. ...Firman MansirThis study aimed to analyze the concept of social justice from Pancasila, Islam and Hinduism perspectives. This study used a qualitative method with literature study techniques to explain ideas related to the concept of justice from Pancasila, Islamic and Hindu perspectives. The concept of justice in Pancasila was defined as a principle that requires all elements, citizens and the government, to be fair in all areas of life, both material and spiritual, by placing things according to their portion or place without taking sides. Justice in the Islamic perspective could be extracted from QS Al-Baqarah [2] 148, requiring everyone to compete to do good, known as fastabiqul khairat. Every goodness will, of course, be replaced with a gift. Therefore, justice played a role in giving gifts according to the good that had been done. On the other hand, justice in the Hindu perspective emphasized the balance between the rights obtained and the obligations carried out based on their social position, either individually or collectively.... Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan. Keadilan merupakan suatu bentuk kondisi kebenaran ideal secara moral akan sesuatu hal, baik itu menyangkut benda ataupun orang Almubarok, 2018. Hal ini diungkapkan Soekarno karena ia ingin Indonesia yang merdeka kelak rakyatnya sejahtera, cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan kepadanya Bua, Samiyono and Tampake, 2019 Berdasarkan paparan diatas, kita tahu bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya kesenjangan sosial di masa pandemi diantaranya ketidaksiapan menerima perubahan, kebijakan pemerintah, serta pengaruh globalisasi. ...Anang Dony IrawanAl Qodar Purwo SulistyoKesenjangan sosial memang menjadi masalah tahunan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Adanya kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketidaksiapan masyarakat terhadap pandemi, kebijakan Pemerintah, dan pengaruh globalisasi. Dengan adanya kesenjangan tersebut bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Kecemburuan sosial juga bisa menyebabkan tindak kriminal, timbulnya kelompok si kaya dan si miskin, standar gizi buruk pada balita, banyak anak putus sekolah dan masih banyak lagi. Kesenjangan sosial erat kaitanya dengan kemiskinan. Kemiskinan sendiri menjadi masalah yang seakan akan terus ada dari dulu meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk menangani kemiskinan. Adanya pandemi Covid 19 menambah beban perekonomian negara khususnya rakyat kecil karena segala aktivitas sangat dibatasi sudah hampir dua tahun belakangan ini. Rakyat kecil semakin menjerit karena lapangan pekerjaan yang dipersempit sehingga mencari sesuap nasi bagi mereka pun sulit. Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Tentunya Negara juga terus mengupayakan berbagai upaya untuk menangani hal tersebut, salah satunya mengurangi jumlah kemiskinan. Anehnya banyak beberapa pejabat justru mengalami kenaikan jumlah kekayaan selama pandemi. Hal tersebut menjadi sebuah ironi mengingat masyarakat sedang kesusahan mencari pundi-pundi rupiah tetapi aset pejabat malah naik. Hal diatas mengindikasikan bahwa keadilan sosial di Indonesia masih belum sepenuhnya terlaksana.... Tidak condong atau tidak memihak pada satu sisi. Kata 'adil ini punya sinonim kata mizan; timbangan yang tidak berat sebelah Rangkuti, 2017. ... Mansur MansurPrinsip hukum Islam sangat penting untuk dipelajari sebelum jauh membahas tentang Hukum Islam. Pada kesempatan ini kita akan membahas materi tentang prinsip-prinsip hukum Islam yg kita kaji lebih jauh agar kita bisa lebih memahami secara mendalam tentang hukum Islam itu sendiri. Sebelum kita bahas lebih jauh tentang apa saja prinsip-prinsip hukum Islam itu, maka kita telah kita terlebih dahulu telaah apa itu prinsip hukum Islam. Karena hal ini sebenarnya lebih mengarah pada pembahasan filsafat hukum Islam, setelah pada bab sebelumnya kita telah mengenal tentang definisi, ruang lingkup, subjek dan objek hukum islam. Dengan demikian, tulisan ini penting untuk kita bahas lebih awal sebagai pijakan memahami sebuah hukum. Prinsipnya secara bahasa artinya permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak atau dalam bahasa Arab adalah mabda', yaitu disebut dengan prinsip. Jadi yang dimaksud prinsip hukum Islam itu adalah kebenaran universal yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya. Prinsip membentuk hukum Islam dan setiap cabang-cabangnya. Maksudnya, bahwa dalam hukum Islam itu ada dasar yang menjadi pijakan dalam setiap penetapan hukum IslamMansur, 2015. Itulah yang disebut dengan prinsip dalam hukum Islam. Contohnya dalam kehidupan anak muda, misalnya prinsip dalam mencari jodoh yang penting dia; seiman, kaya, pintar, anak pejabat, dan seterusnya. Maka sampai kiamatpun itu tidak akan ketemu. Tapi, yang disampaikan temen-temen muda itu namanya adalah prinsip. Jadi sebuah kebenaran,... Kelima, nilai humanisme pada individu didasari oleh rasa saling menyayangi, mengasihi, menjaga kebersamaan, saling mengenal, berbuat baik dan mau menjalin hubungan dengan masyarakat yang berbeda Ulya, 2017. Keenam, nilai keadilan adalah sikap memperlakukan seseorang dengan seimbang sesuai hak dan kewajiban yang telah ditentukan sebelumnya Rangkuti, 2017. ...Yusnil Khoiriah SiregarRengga SatriaThis study aims to analyze the values of multicultural-based Islamic education in the film Upin and Ipin episodes of fasting experience, gong xi fa cai, and Deepavali. There are five values in multicultural-based Islamic education, namely tolerance, pluralism, humanism, equality, democracy, and justice. The fasting experience episode has two values, then the gong xi fa cai episode has five values while the Deepavalii episode has four values. The data analysis of this research used content analysis with a semiotic approach. The results of the research on the Upin and Ipin films of this fasting experience episode, gong xi fa cai and Deepavali contain all these values that can be used by children as examples in instilling the value of multicultural-based Islamic education as an effort to prevent the division of AmrilEndrika Widdia PutriDelavia AndreaThe human desire to engage in politics is an integral part of their nature. However, in order to conduct politics well and in line with desired goals, a strong understanding of politics is required. Therefore, it is important to understand the concept of politics in Islam through modernist figures such as Hamka, who created a new conception of Islam and politics. The purpose of this research is to analyze Hamka's views on the rules of politics in Islam and the goals of Islamic politics. This research is the result of a qualitative literature study using Hamka's work entitled "Lembaga Hidup" as the main source. The results of the study show that, according to Hamka, the rules of Islamic politics should be based on natural law, moral law, and the law of human nature, and serve the interests of individuals, not groups or the state. The purpose of Islamic politics is to create justice for society, provide individual freedom, and create unity, brotherhood, and equality among human Keinginan manusia untuk berpolitik adalah bagian integral dari kodrat kemanusiaannya. Namun, untuk menjalankan politik dengan baik dan sejalan dengan tujuan yang diinginkan, diperlukan pemahaman yang kuat tentang perpolitikan. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep perpolitikan dalam Islam melalui tokoh modernis seperti Hamka, yang menciptakan konsepsi baru tentang Islam dan politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pandangan Hamka tentang aturan perpolitikan dalam Islam serta tujuan politik Islam. Penelitian ini merupakan hasil kajian kepustakaan menggunakan metode kualitatif dengan sumber utama yaitu karya Hamka yang berjudul "Lembaga Hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Hamka, aturan perpolitikan Islam harus didasarkan pada hukum alam, hukum moral, dan hukum fitrah manusia serta melayani kepentingan individu, bukan kepentingan kelompok atau negara. Tujuan dari politik Islam adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat, memberikan kebebasan individu, serta menciptakan persatuan, persaudaraan, dan kesetaraan Dwi LestariBudi HaryantoThe purpose of this research is to describe the exemplary methods of the Prophet Muhammad in guiding and educating his people and see their relevance to the current educational model, so that later if anyone is looking for references about the exemplary method of the Prophet Muhammad and its relevance in Islamic education, it can increase so that it can make it easier for students. reader. The research approach used is library research, the data obtained from the literature with a theoretical and philosophical approach. The results of the study found that the exemplary method of the Prophet Muhammad and its relevance in Islamic education today, namely Islamic education today requires the exemplary method of the Prophet Muhammad so that students can imitate and also practice it, both in terms of faith, worship, social, as well as providing exemplary intelligence. and MuktiPerniagaan dalam islam adalah aktivitas ekonomi yang halal dengan adanya batasan syariat seperti nilai-nilai dasar ekonomi islam yang harus dipatuhi. Pasar Tradisional Pakem Kaliurang adalah pasar dimana seluruh pedagang yang berjualan beragama Islam. Lokasi pasar juga dekat dengan Universitas Islam Indonesia dimana para pedagang memiliki lingkungan yang cukup religius dan seharusnya mampu mengimplementasikan nilai-nilai dasar ekonomi Islam dalam aktivitas perdagangan, tetapi kondisi perekonomian dalam negeri yang sering berubah-ubah dan dorongan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kegiatan berwirausaha terkadang membuat pedagang tergiur untuk melakukan kecurangan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis praktik nilai-nilai dasar ekonomi Islam yaitu tauhid, keadilan, khalifah, nubuwah, dan ma’ad terhadap kinerja pedagang di pasar tradisional Pakem Kaliurang. Lokasi penelitian adalah Pasar Pakem Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dengan instrumen wawancara pada 10 orang pedagang Pasar Tradisional Pakem Kaliurang. Pedagang yang diwawancarai dipilih secara acak dan mewakili jenis komoditas barang yang dijual berbeda-beda. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua nilai dasar ekonomi Islam diaplikasikan dalam kinerja pedagang. Hanya nilai dasar khilafah dan ma’ad yang optimal dipraktikan dalam kehidupan align="left">In the context of the relationship between Islam and democracy along with human rights, Islam represents two opposing positions the two faces of Islam. On the one hand, Islam is seen as a religion of compassion raḥmat li al-ālamīn, respects plurality, upholds tolerance and cares about human rights. On the other hand, Islam is often identified with separatism, discrimination, intolerance and violent phenomena. In Islamic countries and Muslim-majority countries, violations of human rights frequently occur. Islam often appears with a double face. In addition to being a source of law to bring about peace, it is often used as the basis for violent ideologies from state’s repressive policies to terrorism movements. This article elaborates on the basic concept of human rights in Islam and the dynamics of protecting and upholding human rights. Using a conceptual approach, this study aims to seek religious awareness in the midst of globalization where religion can strengthen the concepts of human rights. When religion is used as a source in the rational policy framework of a country, especially the protection and enforcement of human rights, it can be ascertained that human rights in that country will flourish and will be accepted by the citizens. Dalamkonteks ini, terdapat pengakuan Allah sendiri yang memberikan panduan bagaimana manusia harus berkomunikasi, dan manusia wajib mengikuti prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Dengan kata lain, sistem komunikasi Islam didasarkan atas ideologi atau ajaran Islam itu sendiri, yang sering disebut pandangan hidup dan jalan hidup ( Ad-din ). OlehMohammad Hatta Setelah mengkritik perilaku partai dan politikus, Hatta mengungkap tiga sumber yang menghidupi cita-cita pergerakan kemerdekaan: sosialisme; Islam, dan kolektivisme. Hatta menekankan pada kolektivisme, yang dia sebut "demokrasi asli" Indonesia. Demokrasi Indonesia PENGALAMAN dengan pemerintahan otokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu Bagiseseorang yang memperhatikan Al-Qur'an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam ( Engineer 1999, hlm. 57-58). Keadilan dalam Islam tercermin dalam kandungan kitab suci nya, yaitu Al-Qur'an. Al-Qur'an menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah Gunakan pikiranmu dalam tiga hal, yang pertama gunakan pikiranmu untuk dan yang ketiga gunakan pikiranmu untuk berfilsafat baru setelah itu gunakan pikiranmu untuk dirimu sendiri INDONESIA PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 000912 TAHUN 2013 TENTANG KURIKULUM MADRASAH 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. .
cupy4xt5s6.pages.dev/327 cupy4xt5s6.pages.dev/314 cupy4xt5s6.pages.dev/136 cupy4xt5s6.pages.dev/304 cupy4xt5s6.pages.dev/124 cupy4xt5s6.pages.dev/22 cupy4xt5s6.pages.dev/381 cupy4xt5s6.pages.dev/186 cupy4xt5s6.pages.dev/60 keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus
![]()